Senin, 05 April 2010

Music Is My Radar

Salah satu keinginan saya ketika masih kuliah adalah menonton konser band luar negeri, tapi waktu itu kondis keuangan tidak memungkinkan, jadi saya bersama beberapa teman hanya menjadi pemburu gig local, terutama yang free of charge.


Sekarang setelah mempunyai penghasilan sendiri saya mulai percaya diri untuk mencari informasi konser band luar negeri karena merasa sudah mampu membeli tiketnya. Sejak akhir tahun 2009 pun saya sudah mendapat informasi bahwa ada beberapa band yang akan menggelar konser di Indonesia pada tahun 2010 ini, bahkan pre-sale tiketnya pun sudah bisa dipesan sejak akhir tahun 2009 atau 2-3 bulan sebelum hari H. Tapi saya waktu itu belum berani membeli tiket karena waktunya terlalu jauh dan masih rawan pembatalan.


Memasuki awal tahun 2010, setelah memperkirakan ritme kesibukan pekerjaan di hari-hari menonton konser, saya pun membeli tiketnya. Tiket yang saya beli yaitu tiket konser Placebo seharga 500.000IDR dan tiket Soundshine seharga 350.000IDR, bagi saya jumlah tersebut cukup signifikan dalam mengganggu kestabilan keuangan saya, tapi saya mempunyai premis bahwa sebuah pengalaman jauh lebih berharga dari uang, dan saya mempunyai syarat spesifik tentang band yang akan saya tonton konsernya yaitu band tersebut harus sudah saya kenal lagu-lagunya minimal 3 album, ini untuk mencegah saya bengong di tengah konser dan hanya mengikuti trend semata.


Konser pertama yang saya tonton di tahun 2010 adalah Placebo, band British yang sudah saya dengarkan sejak saya SMP ini sudah mengeluarkan banyak album dan banyak lagu-lagunya yang menjadi soundtrack dalam hidup saya, sehingga inilah yang membuat saya memaksakan diri untuk menonton konser seharga 500.000IDR. Jujur saja, dengan menonton konser semahal ini saya bisa dibilang “kemakan omongan sendiri” karena dulu ketika kuliah saya mengomentari teman saya yang menonton konser Bjork seharga 500.000IDR, waktu itu saya berkata bahwa saya tidak akan menonton konser semahal itu, tapi ternyata saya melakukannya 2 tahun kemudian.


Setelah menunggu 2 minggu sejak pembelian tiket, akhirnya sampailah ke hari konser yang sangat berharga itu (karena ini menjadai konser termahal yang pernah saya tonton). Konser yang dilangsungkan di tengah-tengah weekdays kurang nyaman karena saya harus bersiap-siap setelah pulang kerja dan harus menjaga fisik untuk bekerja di hari besoknya. Konser ini dilaksanakan pada selasa 16 Februari 2010, jadi selepas jam kantor saya langsung menuju senayan meskipun konsernya baru akan dimulai 2 jam kemudian, karena saya belum tahu pasti letak venue nya dimana. Setelah bertanya sana sini dan menyasar akhirnya saya pun tiba di venue setengah jam sebelum mulai. Tampak di pintu masuk beberapa stand hiburan, makanan, dan rokok yang menjadi sponsor acara. Saya sendiri tidak tertarik menuju ke sana meskipun banyak artis-selebritis dan beberapa wartawan. Saya lebih memilih untuk langsung masuk ke venue dan berjalan sendiri di tengah banyak orang yang bergerombol dan saling menyapa satu sama lain, it seems awkward when you’re alone amidst of a crowd, and I started missing my friends who were always together when go to a concert. Dan saya menghibur diri sendiri dengan berpendapat bahwa saya kesana untuk menonton konser, bukan untuk bersosialisasi, so just been there done that, datang-saksikan penampilan sang artis-pulang!! itulah prinsip saya sejak gig-mate saya tinggal di luar kota dan kita tidak bias pergi ke konser bersama lagi.


Memasuki venue, tempatnya cukup nyaman, dingin, dan tidak terlalu luas, tampak beberapa ekspatriat dan sisanya penduduk local yang berpenampilan mature, cocok dengan ekspektasi saya yang tidak mau nonton bersama ABG yang sedang mengalami puber yang datang ke konser hanya karena ikut trend semata (contoh kronisnya ada di beberapa acara TV seperti Dahsyat, Inbox, and..you name it…saking banyaknya).


Promotor konser ini bisa dibilang sebagai promotor nomor 1 di Indonesia karena tercatat sukses beberapa kali menggelar konser artis-artis internasional. Mungkin karena itulah, konser yang saya tonton menjadi nayaman mulai dari ketepatan waktu, venue yang nyaman, kesiapan alat, dan sebagainya, kecuali opening act yang tadinya akan diisi oleh band yang masih berafiliasi dengan sang promotor, sehingga ketika bahwa band tersebut akan menjadi opening act konser Placebo, orang-orang mun mulai berkomentar dan menentang rencana tersebut. Saya pun sebetulnya sudah siap berbosan-bosan ria untuk menyaksikan opening act tersebut, tapi ternyata sang promotor menanggapi para fans Placebo dengan mengganti opening actnya menjadi 2 orang Dj dan satu MC. Meskipun sedikit aneh karena konser Placebo dibuka oleh DJ Performance, tapi menurut saya itu agak lebih baik daripada dibuka band yang musikalitasnya jomplang dengan main actnya yaitu Placebo. DJ tersbut juga tidak terlalu buruk karena memainkan lagu-lagu yang saya yakin juga dikenal para fans Placebo, seingat saya mereka memainkan lagu dari Bloc Party, Metalica, sampai RAN. Overall, penampilan sang opening act cukup menghibur para penonton mungkin suah underestimate sang opening act.


Berlanjut ke main act, Placebo tampil dengan cool, pakaian tidak terlalu mecolok dan tanpa banyak basa-basi langsung membawakan lagu-lagu di album terakhir mereka. Merka pun membawa beberapa additional player yang membuat performance mereka di panggung mirip sekali dengan lagu aslinya di album. Satu hal yang menarik adalah san vokalis, Brian Molko selalu mengganti gitarnya di setiap lagu. Penampila lain yang menarik perhatian saya adalah additional palyer wanita yang memainkan semacam alat unik yang memancarkan gelombang tertentu sehingga bila didekatkan dengan tangan mengeluarkan bunyi yang unik, cukup catchy. Placebo bermain selama kurang lebih satu setengah jam, menurut saya itu waktu yang terlalu singkat untuk band sekelas Placebo yang sudah mengeluarkan banyak hits apalagi mereka mengutamakan untuk menyanyikan lagu dari album baru mereka, sehingga banyak dari penonton yang kecewa karena lagu favorit mereka tidak dinyanyikan malam itu, saya sendiri cukup terhibur karena lagu favorit saya seperti “Follow The Cops” dan “Special K” dinyanyikan malam itu meskipun itu tidak terlalu hits, sedangkan lagu yang saya tunggu-tunggu untuk dinyanyikan malam itu “Black Eyed” tidak mereka bawakan. Overall, penampilan Placebo malam itu cukup menghibur, skillful, mengeluarkan aura khas band british, dan sangat menunjukkan kualitas mereka sebagai band yang sudah merajai top hits tangga lagu selam belasan tahun, sangat worth it tiket seharga 500.000IDR meskipun banyak penonton yang kecewa karena mereka kurang mengikuti Placebo akhir-akhir ini dan berharap banyak menyanyikan hits lagu-lagu lama. Konser pun berkahir pukul 22.00 jauh lebih awal dari yang saya perkirakan, dan saya pun buru-buru pulang karena besoknya harus bekerja.


Soundhsine dulunya merupakan festival tahunan yang diadakan dua independent record label terbesar tanah air yaitu Aksara Records dan Fast Forward Records, yang mulai tahun lalu tidak diselenggarakan tahunan, lebih sering tapi mempunyai segmentasi yang berbeda-beda seperti Beat Fest, dsb. Soundshine yang pertama diselenggarakan 4 tahun lalu, dan baru setelah 4 tahun akhirnya saya bisa menjambanginya., dan kebetulan main act artist di Soundshine kali ini sama dengan main act di Soundshine yang pertama, yaitu Kings Of Convinience, hanya saja kali ini ditambah penampilan singer-songwriter yang tahun lalu gagal konser di Bandung, jadilah ini membuat saya semakin ingin menonton konser ini apalagi Kings Of Convinience baru mengeluarkan album baru.


Ternyata Soundshine kali ini semakin diminati dan langsung sold out pada minggu kedua penjualan tiket meskipun konsernya sendiri masih dua bulan lagi. Orang-orang mun masih mencari tiket Soundshine sampai ada lelang tiketnya di komunitas dunia yang harganya hingga satu juta rupiah, padahal harga aslinya hanya 350.000IDR, sempat terpikir oleh saya untuk menjual kembali tiket yang sudah saya beli tapi kembali lagi ke premis saya bahwa sebuah pengalaman jauh lebih berharga dari uang. Venue konser ini di ballroom hotel berbintang lima di kawasan SCBD, ini membuat saya semakin curious terhadap konser ini karena saya belum pernah menonoton konser di ballroom hotel berbintang.


Hari yang dinantikan pun tiba, Minggu 27 Maret 2010 saya pun langsung menuju hotel dimaksud, tapi ternyata ballroom tersebut tidak menyatu dengan hotel melainkan kita harus melalui mall yang memang tersambung langsung dengan hotel, dan itu pun menjadi kunjungan pertama saya ke mall tersebut. Sesampainya di ballroom, tampak ratusan atau bahkan ribuan anak muda yang tampil dressed-up. Benar-benar di luar perkiraan saya karena menurut saya konser ini bertemakan indie pop dimana biasanya penontonnya berpakaian seadanya bahakan terkesan lusuh, tapi saya kemudian teringat bahwa kultur tersebut hanya berlaku di Bandung, tidak di Jakarta dimana para anak muda-socialite juga menyambangi konser-konser indie pop. Jujur saja saya meragukan apakah mereka datang karena benar-benar ingin menyaksikan konser secara kesulurahan atau hanya salah satu line up saja, saya juga sempat bersuudzhon bahwa mereka datang bukan karena musiknya tapi lebih kepada sebagai syarat eksistensi mereka di kancah pergaulan ibukota.


Setelah melalui beberapa pemeriksaan yang cuku birokratis, saya pun akhirnya sampai ke dalam venue dan beberapa menit kemudian acara dimulai. Acara memang dimulai lebih awal dibanding konser biasanya karena mungkin banyaknya line up yang akan tampil pada malam itu. Band yang pertama tampil adalah Hollywood Nobody, band asal Bandung mantan peserta kontes bakat band independent LA Light Indifest. Saya sendiri sudah menyaksikan penampilan mereka beberapa kali, tapi sepertinya banyak diantara penonton lain yang baru menyaksikannya dan kurang antusias, banyak diantara mereka yang duduk-duduk, mirip penonton acara wayang kulit. Penonton mulai antusias ketika mereka membawakan versi remake lagu The Cure yang berjudul Love Song, saya sendiri sebetulnya lebih berharap mereka membawakan versi remake lagu Mew yang berjudul Special, karena aransemennya lebih unik dari versi originalnya. Setelah membawakan sekitar 6 lagu, mereka pun turun panggung, tampak beberapa penonton bertepuk tangan dengat semangat, bukan karena merasa terhibur dengan penampilannya tapi karena merasa semakin dekat penantian mereka ke performer yang mereka inginkan. Berikutnya tampil White Shoes and The Couples Company yang menurut saya paling lama dalam mempersiapkan peralatan di panggung, mungkin karena tampil full band lengkap dengan dua additional player, setelah saya perhatikan ternyata penyebab lamanya persiapan alat di panggung adalah lamanya memasang mic untuk salah satu alat musik yang kemudian hanya digunakan untuk satu lagu, ironis sekali. Persiapan yang memakan waktu tersebut ternyata tidak sia-sia karena mereka tampil hampir sempurna tanpa cela dan membawakan lagu-lagu dengan apik. Lagu favorit saya yang mereka mainkan pada waktu itu adalah dua lagu baru yang akan hadir di album mereka berikutnya yaitu “Hasienda” yang bernuansa kan pantai dan satu lagu lainnya yang saya lupa judulnya tapi sangat khas karena bertemakan musik dari Papua. Penampilan mereka pun membuat penonton lebih antusias, mungkin karena band asal Jakarta sehingga banyak dari penonton yang sudah familiar. Tampilnya White Shoes sebagai band pembuka menurut saya bisa jadi merupakan indikasi gagalnya regenerasi band indie pop di Jakarta karena praktis hingga saat ini hanya ada dua band yang pernah tampil di Soundshine, yaitu Sore dan White Shoes. Berbeda dengan Bandung yang punya lebih banyak regenerasi band indie-pop.


Performer berikutnya adalah Jens Lekman, merupakan salah satu yang tunggu-tunggu, tapi nampak masih banyak di antara yang masih duduk-duduk kurang antusias, saya pun sebetulnya cukup kecewa karena dia hanya tampil dengan sebuah laptop, gitar, dan seorang additional player yang memainkan bongo dengan skill yang biasa-biasa saja. Penampilan di beberapa lagu pertama pun terasa hambar karena lagu versi originalnya yang full band dibawakan secara akustik seadanya, tapi dari situ justru menunjukkan penampilan dia sebagai singer-songwriter yang handal dalam membuat lagu-lagu balada. Pada beberapa lagu terakhir dia mulai menggunakan laptopnya untuk mengeluarkan loop di lagu-lagunya yang membuat semarak, dia pun mulai menari-nari, berputar keliling panggung, dan yang paling meenarik dia memperkenalkan feather game. Di bagian terakhir dia juga memainkan beberapa hits nya yang familiar seperti A Postcard to Nina dan Black Cab, dia juga mengajak penonton singalong, tapi beberapa penonton di sekitar saya malah bernyanyi: Black Cat...sungguh menunjukkan kurangnya pengetahuan mereka atas performer yang mereka saksikan. Overall, penampilan Jens Lekman malam itu sangat entertaining dan cukup inovatif untuk penampilan seorang singer-songwriter, hanya saja penonton kurang antusias dan tidak meminta encore. Satu hal yang membuat saya agak kecewa dia tidak membawakan lagu favorit saya "You Are The Light" yang mungkin akan dia bawakan sebagai encore.


Setelah Jens Lekman selesai, panggung pun langsung dikosongkan untuk menset instrumen Kings Of Convinience, tidak lama kemudian set alat pun selesai, cukup ironis ketika sang main act melakukan set alat lebih cepat daripada sang opening act, tapi mungkin karena sang main act tampil akustik. Begitu tampil, KoC langsung membawakan 2 atau 3 lagu di album terbaru mereka, kemudian disambung dengan beberapa hits lama seperti I Don't Know What I Can Save You From, Misread, Cayman Island, dan kolaborasi dengan personil White Shoes di lagu I'd Rather Dance dan Boat Behind, kemudian setelah itu mereka turun dari stage tanpa basa basi. Ritual encore pun menjadi tidak surprise lagi karena memang sudah dikomandoi oleh Erlend Oye. Penampilan Erlend Oye malam itu pun memang kocak seperti biasanya, mulai dari berpantomim sesuai lirik lagunya, berfoto-foto dengan penonton sebagai background nya, dan masih banyak lagi, tapi atraksi Erlend Oye yang paling spektakuler pada malam itu adalah ketika dia tampil kembali untuk encore dan menyanyikan satu bait lagu dalam bahasa Indonesia yang sayangnya saya tidak tahu judulnya. Overall, penampilan KoC pada malam itu memang sempurna, sound nya terdengar jernih sekali dan sangat membius, diperparah dengan crowd yang sangat antusias dan selalu singalong di hampir semua lagu.


In sum, dua konser di triwulan pertama tahun 2010 memang cukup menguras keuangan, tapi menurut saya worth it atas pengalaman dan hiburan yang saya dapatkan. Hanya saja saya masih kurang merasa nyaman menonton konser di Jakarta, mungkin karena saya tidak cocok dengan crowd penonton Jakarta. Berikutnya, saya ingin nonton konser di Bandung bersama teman lama. Yes, that was great, but I believe there's still much better to come, mudah-mudahan saya bisa nonton konser band favorit saya lainnya, Copeland, and what else???