Senin, 15 Maret 2010

For The Mother and The Mother Nature

Dua puluh sekian tahun saya hidup dan lima tahun lebih menjadi anak kos, baru sekarang ibu saya menelepon dan meminta saya pulang. Ada firasat yang tidak enak ketika Ibu saya meminta seperti itu, karena ini jarang sekali terjadi sehingga saya pun langsung mengiyakannya. Motivasi ini juga lah yang membuat saya pulang dari kantor dan mendapatkan potongan gaji . Inilah potongan sebesar 1,5% pertama sepanjang karier saya, tapi saya tidak terlalu keberatan, demi memenuhi permintaan sang ibu.
Banyak sekali pilihan moda transportasi bagi saya untuk pulang kampung ke Bandung, mulai dari yang termurah hingga yang termahal, mulai dari yang ternyaman, sampai yang paling inferior. Di antara semua moda yang ada, akhirnya saya memutuskan untuk menggunakan kereta api. Meskipun beberapa orang berpendapat bahwa menggunakan kereta api ke Bandung cukup wasting time, dan harganya tidak jauh beda dengan jika menggunakan travel via Cipularang. Tapi alasan tersebut tidak membuat saya mengurungkan niat untuk menggunakan kereta api ke Bandung, dengan harapan bisa sambil melihat pemandangan indah, mendapatkan inspirasi baru, dan yang terpenting bisa sambil membaca buku karena saya sering merasa pusing ketika membaca di dalam mobil, tapi tidak merasakannya jika saya di dalam kereta api.
Buku yang akan saya baca di dalam kereta api adalah sebuah buku setebal lebih dari 500 halaman dan berbahasa inggris. Cukup sulit bagi saya untuk mencerna buku tersebut, sehingga setelah lebih dari tiga minggu meminjamnya saya hanya mampu membaca 100 halaman, tanpa mengerti betul apa message yang coba disampaikan penulis di 100 halaman tersebut. Buku tersebut berjudul Hot, Flat, and Crowded, karangan Thomas L. Friedman. Jujur saja, saya tertarik membaca buku tersebut bukan karena saya merupakan pemerhati isu-isu lingkungan, tapi lebih karena saya ingin belajar membaca buku setebal 500 halaman ditulis dalam bahasa inggris, it's quite cheesy right?? Tapi setelah setelah membaca sebagian buku tersebut, awareness saya mengenai kondisi bumi ini. Hal inilah yang membuat saya begitu menikmati perjalanan satu jam pertama di dalam kereta api.
Ada beberapa potongan paragraf dalam buku tersebut yang cukup catchy, seperti kalimat yang menunjukkan sudah begitu parahnya kondisi bumi kita ini yang coba ditunjukkan penulis dengan ungkapan: "Everytime you look in a mirror, you are seeing an endangered species". Ungkapan itu cukup menohok buat saya, karena selama ini kita hanya bisa berbangga dengan keadaan kita sekarang dari apa yang kita lihat di cermin, tanpa memikirkan apa yang akan terjadi di kemudian hari. Hal lain yang menarik dari bacaan saya tersebut adalah adanya suatu pendapat yang mengatakan bahwa fenomena yang sekarang kita hadapi bukan GLOBAL WARMING, tapi lebih kepada GLOBAL WEIRDING. Karena menurut beliau, global warming dianggap terlalu halus atau terlalu ramah untuk menggambarkan parahanya kondisi saat ini. Global weirding dianggap lebih tepat, karena segala sesuatunya menjadi begitu aneh ketika berkaitan dengan urusan alam dan lingkungan. Salah satu bentuk keanehan tersebut adalah adanya salah satu gubernur di AS yang menghimbau warganya untuk melakukan hal-hal mistik agar hujan turun. Cukup ironis, di millenium ketiga ini, salah satu pejabat di negara adikuasa seperti AS, masih percaya hal-hal klenik seperti itu. Masih banyak keanehan-keanehan yang ditulis di buku itu yang menunjukkan semakin memburuknya alam ini. Di Indonesia, fenomena paling sederhana yang bisa kita tangkap dari memburuknya alam ini adalah bahwa kebanyakan orang Indonesia musim hujan itu terjadi di bulan yang berakhiran -ber, tapi sekarang kita masih bisa merasakan hujan deras di bulan Maret, cukup dangkal memang pendapat tersebut tapi menurut saya hal tersebut cukup menggambarkan memburuknya alam ini.
Satu jam sudah saya membaca buku itu di dalam kereta, dan ini membuat mata saya lelah dan segera mengalihkan perhatian ke luar melalui jendela di samping saya. Inilah salah satu alas an kenapasaya lebih memilih menggunakan kereta api, sebuah pemandangan khas yaitu persawahan dan segala pernak-pernik kehidupan desa, and here you can see toddlers waving to the train. Tapi semuanya tidak seperti yang saya harapkan. Sawah-sawah Nampak tidak seramai dahulu, tidak ada kumpulan ibu-ibu yang menanam padi atau petani dengan kerbaunya. Apakah sang kerbau sekarang lebih tertarik untuk mengikuti demonstrasi di Bundaran HI?? Tentu tidak, ini semua karena petani lebih memilih menggunakan traktor, yang asapnya membuat udara sekitar tidak secerah dulu. Pemandangan ini membuat saya larut membayangkan apa yang saya baca di buku Hot, Flat, and Crowded, betapa segala sesuatunya jika tidak dikaji dengan matang, bisa menimbulkan efek samping yang buruk. Ambil contoh penggunaan traktor tersebut, dan masih banyak contoh lain yang umat manusia sering salah dalam menangani persoalan, karena selalu berusaha menyelesaikan masalah dengan satu masalah baru. Kesalahan tersebut bisa jadi bukan tanpa sengaja. Satu hal yang melintas di pikiran saya waktu itu adalah beranikah pemerintah kita menaikkan berkali-kali lipat pajak kendaraan bermotor sehingga banyak orang tidak dengan mudah mendapatkannya seperti sekarang ini yang setiap orang bisa membawa pulang sepeda motor tanpa uang muka cicilan. Inilah yang membuat jalanan ibukota begitu hectic karena padatnya jalanan oleh kendaraan bermotor. Kembali lagi ke lamunan saya, andai saja hasil dari peningkatan pajak kendaraan bermotor tersebut digunakan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan perkeretaapian kita sehingga orang-orang mulai beralih dari kendaraan pribadi yang pajaknya semakin tinggi ke kendaraan transportasi massal seperti kereta api yangberkualitas dari segi infrastruktur, manajemen, maupun pelayanannya. Dengan begini, PT KA (PT Kereta Api) tidak lagi dicemooh masyarakat sebagai PT Kumaha Aing (terserah gua, -red) yang kereta apinya seenaknya datang dan berangkat tanpa sesuai jadwal atau seenaknya menaikkan tarif tanpa ada sebab yang jelas. Tapi sepertinya menaikkan pajak kendaraan bermotor itu sulit terjadi karena tingginya bargaining power para kapitalis perusahaan otomotif terhadap orang berkuasa di negeri ini. Memikirkan carut marutnya membuat kepala saya pening, dan ingin segera kembali mengalihkan perhatian ke pemandangan di luar jendela kereta.

And I fell asleep as I listened to this song:

"Awan" (written & performanced by Pure Saturday)
Di atas tanah kita melangkah
Andai kita terbang jauh melayang
Kan kugapai semua tanpa pilihan lagi
Seindah liku-liku jalan yang terlalui
Yang terlewati
Tak kan mudah menghindar
Kita melawan waktu
Lewati hari
Biarlah ku tertidur
Biarlah ku tertidur
Di atas awan ku tertidur
(Hanya bersamamu ku kan tertidur)
Kan kugapai semua
Saat ini kan kugapai semua


Selasa, 02 Maret 2010

Week For The Wanderlust


A Thousand Miles
Bukan, ini bukan tentang kisah cinta seperti yang diceritakan di lagu Vanessa Carlton, tapi ini tentang perjalanan yang saya tempuh di minggu terakhir bulan Februari 2010 yang mungkin mencapai seribu mil atau bahkan lebih. Rute yang ditempuh dari Jakarta-Semarang-Ambarawa-Semarang-Jakarta-Sukabumi-Ujung Genteng-Jakarta dalam waktu 5 hari saja. Perjalanan kali ini merupakan tentang gabungan antara urusan pekerjaan dan kesenangan.

Work Hard Play Hard
Setelah bekerja di suatu instansi selama lebih dari 1 tahun, saya sudah beberapa kali terlibat proyek investasi dan proyek kali ini giliran saya yang jadi PIC, jadi saya bisa dominan dalam penentuan
action plan dan time table. Sempat terjadi perdebatan alot antara saya dan senior saya dalam menentukan jadwal site visit ke lokasi proyek di Ambarawa, karena masing-masing punya agenda sendiri, termasuk saya yang berniat untuk berlibur segera setelah site visit selesai. Singkat cerita, site visit pun diputuskan tanggal 22-25 Februari 2010, persis sesuai dengan yang saya inginkan. Acara site visit pun berlangsung terasa datar, tidak seperti biasanya yang disertai dengan jalan-jalan ke obyek wisata terdekat dengan lokasi. Overall, site visit kali ini berjalan monoton kecuali singgah sebentar di Daerah Banaran untuk mencoba kopi khas daerah tersebut, dan beristirahat sejenak di Desa Banyu Biru yang damai, karena desa tersebut dilalui proyek ini. Cerita menarik lainnya dari site visit ini berhubungan dengan wisata kuliner, agenda wajib dinas luar kota. Kuliner yang menarik kali ini adalah Durian Sukun, salah satu jenis varian durian yang katanya hanya tumbuh di wilayah Jawa. Durian ini berwarna terang dan berukuran lebih besar, daging buah yang tebal dan biji yang tipis dan kecil dengan rasa yang khas seperti kandungan alkohol yang kentara. Kami berenam pun hanya mampu menghabiskan 4 buah, padahal biasanya kami mampu mampu menghabiskan belasan buah. Di acara makan durian kali ini saya berhasil mengalahkan senior saya yang padahal ketika sehari-hari di kantor dia sangat agresif terhadap semua jenis makanan (baca: rakus) tapi kali ini dia menyerah di durian ketiga yang dikupas dengan wajah pucat dan tidak berhenti meracau (so-called: mabok duren).
Setelah selesai site visit, perjalanan pulang menuju Jakarta pun sudah saya
set supaya match dengan perjalanan saya berikutnya menuju Sukabumi , tapi apa daya ternyata pesawat yang akan saya tumpangi delay 1 jam. Delay tersebut menjadi terasa signifikan karena lebih lama dari flight itu sendiri yang hanya 45 menit. Setelah tiba di Bandara Soekarno-Hatta, perjalanan dilanjutkan dengan bus Damri menuju Gambir. Di sela-sela menunggu bus yang datang tidak sesering biasanya, saya melihat sesosok wajah berambut pirang. Berulang kali saya curi-curi pandang dan ternyata dia juga melihat ke arah saya, tapi saya berpikir biasa-biasa saja karena hal tersebut lazim tejadi di antara para turis dengan penduduk local. Bus yang ditunggu-tunggu pun akhirnya datang, dan gadis berambut pirang tadi juga ternyata naik bus yang sama dan kali ini dia tersenyum kepada saya. Tapi bukannya mendekati gadis tersebut, saya lebih memilih untuk duduk di kursi pojok belakang karena tak kuat menahan rasa kantuk dan berharap supaya bisa tidur nyenyak. Setelah tidur di sepanjang perjalanan dari bandara menuju Gambir, teman saya pun membangunkan kemudian kami berpisah di stasiun Gambir,kemudian tanpa disangka si gadis berambut pirang tadi menghampiri saya dan bertanya: ”Is it Gambir?” Saya memperkirakan dia akan melanjutkan perjalanan ke Bandung, sempat tergoda untuk menjadi guide dadakan ke Bandung, apalagi saya sudah cukup lama tidak pulang ke Bandung. Tapi tiba-tiba seorang porter stasiun menyenggol saya dan seakan-akan menyadarkan supaya sadar atas rencana awal saya, yaitu Sukabumi.

To Meet the Old Friend (Old Skool Partner In Crime)
Setelah bongkar muat tas bawaan, membersihkan badan, dan makan siang, saya pun siap untuk liburan long-weekend kali ini. Tujuan pertama adalah mengunjungi seorang teman yang bekerja di salah satu bank di daerah Cibadak, Sukabumi. Dan untuk mencapai daerah tersebut saya pun berkonsultasi terlbih dahulu kepada seoran
g teman kuliah yang memang orang Sukabumi. Ada beberapa cara supaya tiba di Sukabumi,dan saya memilih untuk naik bus dari daerah Cempaka Mas (depan Gudang Garam). Hujan gerimis kali itu membuat saya agak basah kuyup dan kelelahan karena berlarian menuju tempat bus menunggu penumpangnya. Lama menunggu bus yang dimaksud, membuat saya ragu apakah bus yang dimaksud memang melewati daerah itu atau tidak, dan beberapa menit kemudian muncullah bus yang dimaksud, jurusan Sukabumi-Tanjung Priok Ekonomi non-AC. Tidak sesuai ekspektasi saya yang sangat ingin naik bus AC karena ingin melanjutkan tidur saya yang banyak berkurang ketika di Semarang. Tapi setelah dipikir-pikir daripada semakin sore dan terjebak macet di tol Jagorawi, saya pun dengan malas-malasan naik bus ekonomi itu. Saya duduk di baris ketiga dari depan di kursi 3 orang yang dekat tempat orang berlalu lalang, sehingga kadang saya harus agak menahan napas setiap kali ada orang yang lewat dengan aroma bau badan yang kurang sedap. Duduk di posisi seperti itu cukup menyiksa karena duduk dengan sebelah pantat dan lutut yang terbentur kursi di depannya dan sulit untuk menyandarkan kepala ke belakang. Untuk mengurangi rasa tersiksa ini, saya pun mendengarkan mp3 di handphone melalui earphone, selain juga sudah menjadi teman wajib di setiap perjalanan saya. Sambil mendengarkan mp3, saya pun mencoba sebisa mungkin untuk menikmati suasana sekitar dengan mengamati tingkah laku orang sekitar dengan tetap berharap supaya bisa tidur. Yang pertama saya amati adalah penjual dukuh. Bapak penjual dukuh tersebut meletakkan karung dagangannya di dekat tempat saya duduk, sehingga cukup menyita perhatian saya. Dan setelah beberapa saat saya perhatikan, bapak tersebut menawarkan barang dagangannya secara intensif kepada setiap penumpang dengan bahasa Sunda yang halus dan ramah, khas orang Priangan. Di sudut lain, tampak seorang ibu berusia tiga puluhan mengamen dengan menggunakan tape dan amplifier yang dia sandang layaknya sebuah tas. Amplifier tersebut menghadap tepat ke arah wajah saya membuat mp3 yang saya dengarkan melalui earphone hampir tidak terdengar. Ibu tersebut mengamen dengn manyanyikan beberapa lagu dangdut yang diputar dari kaset layaknya berkaraoke, dan lama kelamaan saya perhatikan ibu tersebut jadi hampir mirip Alanis Morissette, mungkin ini merupakan efek memeperhatikan dia terlalu serius. Setelah ibu tadi selesai mengamen, perhatian saya kembali ke bapak penjual dukuh yang masih bersemangat menawrkan barang dagangannya ke setiap penumpang. Ketika bus mulai masuk tol, bapak tersebut menjual dukuh seharga Rp 10 ribu untuk satu kantong plastik kecil dukuh. Sepuluh kilometer berikutnya, bapak tadi menambah dukuh yang dijualnya di harga yang sama. Menarik untuk diperhatikan, penambahan ini terus terjadi secara bertahap sampai bus keluar di pintu tol Ciawi, bapak tersebut menjual dukuh seharga Rp 10 ribu untuk dukuh sebanyak satu kantong plastik besar, dan akhirnya barang dagangannya pun habis. Sebuah taktik marketing yang jitu, yaitu menjual suatu produk di harga yang berbeda-beda disesuaikan dengan waktu dan kondisi calon konsumen. Apakah bapak penjual dukuh tersebut sempat belajar manajemen pemasaran?
Setelah bapak pejual dukuh selesai berjualan dan turun dari bus, saya tetap tidak bisa tidur, dan perhatian saya teralih ke sosok-sosok lain di dalam bus, salah satunya kepada seorang pria paruh baya dengan ekspekresi yang sangat antusias menatap 2 orang gadis yang berpenampilan sangat modis untuk ukuran penumpang bus ekonomi dengan stelan
leather pants & jacket, rambut di bleaching dengan hi-lite di bagian tertentu, kuku yang terawat, dsb. Suasana pun semakin klop seiring lagu yang saya dengarkan yaitu sebuah single lama dari Suede - She`s In Fashion. Perjalanan memasuki wilayah perbatasan Bogor-Sukabumi, perhatian saya beralih ke pemandangan gunung-gunung sekitar dan mendapat tempat duduk yang lebih nayaman ditambah beberapa lagu bertempo pelan dari band-band British Pop membuat saya lebih rileks dan sedikit terlelap. Tanpa terasa, jalanan yang saya lalui menjadi gelap, dan saya pun semakin siaga untuk menemukan tempat teman saya tinggal. Setelah kurang lebih 4 jam perjalanan dengan bus ekonomi, saya pun sampai di suatu mini market di daerah Karang Tengah, Sukabumi untuk kemudian dijemput teman saya menuju tempat tinggalnya.
A Friend in Need is A Friend in Deed
Teman saya ini merupakan teman saya sejak kelas 1 SMP, itu berarti sudah labih dari 11 tahun saya berteman dengan akrab dengan dia. Selama 11 tahun itu pula kita berdua dan teman-teman SMP lainnya sering berkumpul secara dengan tengat waktu tidak terlalu lama termasuk hanya untuk sekedar berkaraoke bersama. Kali ini dia mengajak saya bergabung bersama teman-teman kuliahnya untuk berlibur ke Ujung Genteng, tempat yang sudah cukup lama saya idam-idamkan untuk backpacking. Perjalanan ke Ujung Genteng pun baru dimulai pada Jumat pagi tanggal 26 Februari 2010, jadi ada waktu satu malam untuk jalan-jalan di Sukabumi, meskipun seharusnya saya beristirahat mempersiapkan stamina untuk perjalanan besok. Setelah berbincang-bincang mengenai kesibukan masing-masing dan kabar teman lama lainnya, serta prosesi standar lainnya pertemuan dua orang teman lama, kami mun keluar rumah untuk mencari makan malam. Dia pun mengajak temannya yang lain yang sesama orang Bandung untuk bergabung mengelilingi kota Sukabumi dan menikmati suasana malam di kota itu. Tapi ternyata kita salah, kita terlalu larut untuk keluar malam di Sukabumi. Di sana, jam 10 malam setara dengan kondisi jam 1 malam di Bandung. Alhasil kita pun tidak menemukan apa-apa selain suasana kota yang sepi. Padahal kita berniat untuk berhura-hura di Sukabumi. We thought we were in Bandung. Dan teman saya pun berseloroh: ”Gagal maning, Son.

In Search of Paradise
Juma’at pagi tanggal 26 Februari 2010 saya bangun tidur jam 7.30, meleset 3 jam dari yang ditargetkan yaitu jam 4.30, padahal alarm sudah berkoar berkali-kali, dan malah teman saya yang terbangun, tapi dia tidak tega membangunkan saya karena melihat saya tidur sangat pulas sampai tidak bergerak sama sekali. Setelah mandi dan packing, satu jam kemudian kami pun mulai berangkat dari tempat teman saya ke terminal Sukabumi dengan menggunakan kendaraan umum jenis L300. Cukup sesak kondisi di dalam L300 tersebut, tapi saya tidak terlalu menghiraukannya karena sedang berada pada kondisi yang sangat kelaparan tetapi juga excited atas perjalanan yang akan ditempuh. Sesampainya di terminal, kami memutuskan untuk mencari hidangan untuk sarapan, dan kami pun menemukan “gecho” (stands for tauge campur taucho), tipikal orang Sunda yang suka memberi nama makanan berasal dari singkatan bahan-bahan pembuatnya. Sepiring "gecho" dan segelas air teh hangat membuat kondisi tubuh menjadi prima dan semakin bersemangat untuk backpacking. Selesai sarapan, kami langsung menuju terminal, dan ternyata tidak sesuai skenario karena tidak ada kendaraan umum yang langsung menuju Surade. Tapi sebetulnya hal tersebut sudah saya perkirakan karena beberapa hari sebelumnya saya menjelajahi dunia maya hanya untuk melakukan riset kecil-kecilan tentang perjalanan ke Ujung Genteng, hanya saja yang di luar perkiraan adalah mengenai tarif angkutan umum tersebut. Berdasarkan riset saya, tarif dari terminal Sukabumi ke terminal Lembur Situ sebesar Rp3.000, tapi kenyataannya saya membayar Rp5.000, begitu juga dengan tarif angkutan elf jurusan Lembur Situ-Surade yang berdasarkan riset sebesar Rp20.000 tapi kenyataannya saya membayar sebesar Rp22.000. Sebesar itukah inflasi yang terjadi di Kabupaten Sukabumi, atau mungkin saya yang kurang berani untuk menawar ongkos. Tidak ada yang spesial di perjalanan dari terminal Sukabumi menuju Lembur Situ kecuali situasi angkot yang padat dan diperparah dengan sound system yang menyita tempat. Tampak beberapa penumpang lain berpakaian sama seperti kami khas backpacker dengan pakaian casual tentunya backpack yang padat terisi. Setelah tiba di Lembur Situ, kami pun meneruskan perjalanan menuju Surade, sebuah nama yang mendengarnya saja membuat saya malas, karena letaknya yang dikenal terpencil dan akses menuju sana yang sangat berat, ditambah lagi harus mengendarai kendaraan sejenis elf untuk mencapai tempat tersebut. Suasana di dalam angkutan umum cukup penuh dengan penumpang, dan lagi-lagi saya mendapatkan posisi duduk yang tidak enak karena duduk di kursi tanpa sandaran. Dua jam pertama masih bisa dipaksakan untuk dinikmati, tapi di 2 jam berikutnya semuanya begitu berat, perut mual, berkeringat dingin, dan bibir kering. Pemandangan indah di sepanjang perjalanan tampak tidak dapat membantu saya mengalihkan perhatian, dan saya terus dihantui kekhawatiran kambuhnya penyakit maag saya. Dua jam lebih saya berusaha sekuat tenaga untuk menahan supaya tidak mabuk perjalanan, dan akhirnya kami pun tiba di Surade, sebuah kecamatan yang hanya memiliki sebuah pasar, sebuah terminal dan sebuah minimarket. Sebelum melanjutkan perjalanan ke Ujung Genteng, kami pun beristirahat selama kurang lebih satu jam untuk makan siang dan merebahkan badan sejenak di masjid setempat setelah saya minum obat maag saya. Setelah itu kami pun meneruskan perjalanan dengan kondisi tubuh yang kembali prima dan wajah yajng ceria karena tujuan kami semakin dekat. Di perjalanan menuju Ujung Genteng kami sempat berbincang-bincang dengan penduduk sekitar yang tampaknya sudah terbiasa dengan keberadaan backpackers seperti kami di wilayah mereka. Dan ternyata salah satu diantara mereka merupakan nasabah bank tempat teman saya bekerja, sehingga pembicaraan pun semakin akrab apalagi angkot yang kami tumpangi harus mengganti ban dua kali, sehingga makin banyak yang kami habiskan untuk bercengkerama dengan penumpang yang lain selama sang supir angkot mengganti bannya.

Walking on a Dream
Setelah kurang lebih satu jam mengendarai angkot, akhirnya kami pun sampai di Ujung Genteng, suatu wilayah pesisir pantai yang tidak terlalu ramai, hanya beberapa perahu nelayan dan bersandar di pantai, suasana siang hari di pantai yang sepi. Sinar matahari yang cukup terik waktu itu membuat kami ingin cepat-cepat menemukan penginapan, hanya saja hampir semua penginapan sudah full booked. Kami pun berjalan menyusuri pantai kea rah Cibuaya sambil tetap berharap masih mendapatkan penginapan. Di tengah perjalanan kami bertemu dengan seorang pria berusia dua puluhan yang menawarkan penginanpan, dan setelah berkordinasi dengan rombongan lainnya yang masih dalam perjalanan, kami pun memutuskan untuk menyewa rumahnya. Sebuah rumah yang cukup luas dengan tiga kamar tidur dan satu kamar mandi, satu hal yang tidak terlalu kami perhatikan, namun ternyata berakibat cukup signifikan karena rombongan kami berjumlah 17 orang sehingga membutuhkan lebih dari 2 jam hanya untuk satu kali sesi mandi di pagi hari maupun sore hari. Setelah bernegosiasi cukup alot, akhirnya kami sepakat harga sewa rumah adalah Rp 450 ribu per hari, harga termurah untuk sewa rumah dengan ukuran itu di sekitar kawasan Ujung Genteng. Setelah merasa tenang karena sudah mendapatkan penginapan, kami pun segera bergegas ke pantai Cibuaya untuk menyaksikan sunset, tapi ternyata kami harus kecewa karena cuaca pada saat itu kurang mendukung sehingga sunset tidak bisa dilihat dengan jelas. Segera setelah gagal menyaksikan sunset kami pun harus menjemput rombongan lainnya dari Bandung.

Sadulur salembur
Acara ini sebetulnya merupakan ajang reuni para alumni Manajemen UPI 2004, hanya saja ada beberapa dari mereka yang mengikutsertakan temannya, termasuk teman lama saya yang mengajak saya bergabung di liburan ini. Rombongan inti yang merupakan alumni Manajemen UPI 2004 itu sendiri berjumlah 13 orang, ditambah 4 orang luar yang terdiri dari saya, seorang teman seangkatan tapi belum lulus kuliah jurusan jurnalistik, dan 2 orang lainnya yang saya pun belum sempat berbincang-bincang banyak sehingga kurang tahu pasti kegiatan mereka dan cerita bagaimana bisa bergabung ke acara liburan ini. Pukul 19.00 rombongan ini baru tiba di Ujung Genteng setelah menempuh perjalanan hampir 12 jam dengan menggunakan dua mobil, satu mobil Daihatsu Xenia yang didominasi para wanita dan satu mobil Suzuki APV yang mayoritas ditumpangi para pria. Saya pu memilih untuk menumpangi mobil Suzuki APV karena lagu yang dimainkan di situ sesuai dengan selera musik saya. Setelah berkenalan dan sedikit berbasa-basi kami pun keluar rumah untuk mencari makan malam. Hanya saja situasinya sedikt awkward karena 4 orang peserta luar belum bisa membaur dengan 13 orang yang memang sudah berteman sejak awal masa kuliah. Saya pun memilih untuk tidur lebih awal daripada yang lain dengan alasan kelelahan dan persiapan untuk sunrise keesokan harinya, selain juga karena belum bisa bergaul dengan yang lainnya. Di tengah malam saya terbangun karena kepanasan, sehiingga dalam kondisi setengah sadar saya melihat ketiga belas orang itu masih bercengkerama (prosesi standar pertemuan dengan kawan lama) sementara saya mencari dus bekas air minum untuk saya jadikan kipas darurat. Setelah mendapatkan selembar kertas dus, saya pun kembali tertidur sambil sesekali berkipas-kipas.

Belief is a beautiful Honor
Setelah beberapa jam berkenalan, nampak situasi diantara kami belum mencair, namun begitu kami kompak untuk menyaksikan sunrise bersama-sama, meskipun berat untuk membuka mata. Sempat terjadi perdebatan sengit di antara kami dalam menentukan lokasi yang paling pas untuk menyaksikan sunrise, dan perdebatan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan. Saya bersama teman saya memilih untuk pergi ke sisi pantai yang lain sementara sisanya tetap berada di tempat. Teman saya menamakan ini sebagai “pelarian demi sebuah keyakinan”, karena saya dan teman saya berlari sepanjang kurang lebih 2 km dalam kondisi hujan, hanya untuk membuktikan pendapat kami berdua tentang tempat yang tepat untuk menyaksikan sunset. Ternyata keyakinan saya benar, tempat yang saya pilih memang memiliki view terbaik untuk menyaksikan sunrise, dengan nafas yang terengah-engah dan basah kuyup, saya dan teman saya menikmati “kemenangan” atas keyakinan yang kita pilih itu, dan tak lama kemudian sisa rombongan yang lainnya menyusul saya karena akhirnya mereka mengakui keyakinan saya itu. Setelah menyaksikan sunrise dan puas berfoto-foto, kami pun memutuskan untuk sarapan di sekitar tempat pelelangan ikan. Baru sekarang kita merasakan sarapan bubur beraroma ikan. Kami pun kembali ceria dan bertenaga setelah sarapan, agenda berikutnya adalah sesi pemotretan di wilayah pantai Cibuaya dan saya pun lebih memilih untuk hanya berdiam di tempat yang teduh, karena selain panas dan terik, saya juga masih merasakan rasa kantuk yang sangat. Keceriaan di pantai Cibuaya ini membuat suasana semakin mencair dan menghilangkan kecanggungan di antara kami, dan kami pun pulang untuk membersihkan badan.

We're in Chicaso, not Chicago

Tidak kurang dari 2 jam untuk menunggu ketujuh belas anggota rombongan untuk mandi, karena diantara kami tidak ada yang mau berbgai kamar mandi sedangkan hanya ada satu kamar mandi di tempat kami menginap.
Meskipun kami melakukan hal yang menyebalkan yaitu menunggu giliran ke kamar mandi, semuanya lagsung terobati karena kami semua excited untuk pergi ke Curug Cikaso. Perjalanan yang ditempuh sekitar 45 menit sangat pas dengan ditemani lagu-lagu twee-pop di mp3 player mobil kami seakan-akan menjadi soundtrack kondisi kami yang bersemangat namun agak lesu karena kelaparan. Kami pun memutuskan untuk mampir sejenak ke warung nasi di Surade. Tidak ada yang special di warung tersebut, apalagi nasinya yang keras bahkan saya pun malas untuk mengunyahnya, tapi terpaksa memakannya daripada sakit maag saya kambuh. Kemudian kami meneruskan perjalanan menuju Curug Cikaso yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat kami makan.

Curug Cikaso bagi saya agak spesial dan tidak sperti air terjun yang pernah saya lihat sebelumnya, curug ini mempunyai dua air terjun yang sangat deras dan satu air terjun yang tidak terlalu deras dan airnya menyusur tebing yang berlumut dan terletak di antar kedua air terjun yang deras, indah sekali. Tak hanya itu, air buangan dari air terjun berwarna hijau menyegarkan, menggoda saya untuk membuka baju dan berenang. Susunan batu yang indah di sekitar air terjun seakan-akan didesain bagi para pengunjung yang photogenic, atau banci poto lebih tepatnya. Satu setengah jam lebih yang kami habiskan disini terasa kurang bagi kami untuk menikmati segarnya air dan sejuknya udara yang dibumbui embun hempasan air terjun, atau hanya sekedar untuk mencari spot-spot unik untuk mengambil gambar. Tapi kami harus bergegas karena tidak ingin melewatkan sunset kali ini yang kami putuskan untuk menyaksikannya di Pantai Pangumbahan.

If I ever feel BETTER….

Jika wisata ke Ujung Genteng diibaratkan seperti makan pizza, maka menyaksikan sunset di pantai Pangumbahan diibaratkan seperti memakan toppingnya. It`s just like the encore of a concert. Hal inilah yang membuat kita begitu beresmangat, pas sekali dengan soundtracks waktu itu yang memutarkan lagu-lagu dari band french-pop Phoenix. If I ever feel better…., dan semua orang di dalam mobil sing along together, mengekspresikan perasaan excited setiap orang, ditambah dengan matahari yang semakin condong ke ufuk barat, membuat sang sopir memacu mobilnya supaya tidak melewatkan sunset. Menarik sekali, seperti anak kecil yang berlari ke sekolah, bukan karena takut terlambat dan dihukum, tapi karena tak sabar bertemu seseorang spesial baginya.

Ketika kami tiba di pantai Pangumbahan, matahari sudah berada satu jengkal di atas garis horizon samudera hindia, waktu yang tepat untuk mencari posisi dan mengambl gambar. Dan langit pun seakan-akan berevolusi mengikuti letak matahari yang semakin tenggelam. Biru, ungu, oranye, merah, itulah evolusi warna langit waktu itu. That was the best sunset i`ve ever seen, it was gorgeous..hailuyeah!! my friend was yealling at me, haha. Saya merasa semua perjuangan dan pengorbanan demi liburan ini terbayar sudah dengan menyaksikan sunset ini. Kami pun untuk pertama kalinya berfoto bersama, seluruh rombongan peserta liburan kali ini. Lama kelamaan langit pun menjadi gelap, tapi kami masih betah berlama-lama di pantai, hingga akhirnya perut kosong menyadarkan kami agar segera pulang dan makan malam.

Oh, It`s so quiet

Sehabis mandi dan makan, membuat saya begitu menginginkan untuk merebahkan punggung saya di tempat tidur tapi apa boleh buat, agenda berikutnya adalah mengunjungi konservasi penyu dan beberapa di antara kita berpendapat bahwa belum bisa dikatakan ke Ujung Genteng kalau belum melihat penyu bertelur di tempat konservasinya. Akhirnya dengan berat hati dan berat mata, saya pun mengikuti rombongan ke tempat konservasi. Suasana gelap dan hening di sepanjang perjalanan, membuat keceriaan berkurang, diperparah dengan soundtracks waktu itu yang memutar lagu-lagu dari Third Eye Blind yang membuat semua orang larut dalam lamunannya masing-masing. Begitu juga dengan saya yang melamunkan seseorang yang jauh di mata jauh di hati, terutama pada saat lagu dengan potongan bait “I wonder how`s it gonna be, when you don’t know me…” Untung tak lama kemudian kami tiba di tempat tujuan: Konservasi Penyu, membuat saya terbangunan dari lamunan dan menyadarkan saya bahwa ini saatnya berlibur, bukan untuk mengenang masa lalu.haha

Setibanya di konservasi kami langsung diminta untuk melapor kepada pengelola dan membayar biaya masuk. Instruksi pertama yang kami dapatkan adalah menunggu, sesuatu yang pasti dibenci semua orang, apalagi menunggu sampai waktu yang tidak ditentukan, jadi teringat bagaimana kita diminta untuk menunggu ketika mengurus KTP di kelurahan, menyebalkan. Apakah sang penyu hampir mirip dengan pak lurah, yang membuat kesal orang yang diminta untuk menunggu kalau ingin bertemu??? Tentu tidak, menunggu sang penyu cukup indah, karena kita ditemani cahaya bulan purnama dan suara merdu deburan ombak pantai selatan. Setelah menunggu dua jam, kami pun dapat menyaksikan sang penyu di tepi pantai sedang bertelur, pemandangan yang cukup membuat saya kagum meskipun pada awalnya saya tidak terlalu tertarik menyaksikan penyu bertelur. Tapi sebetulnya the best part ke konservasi penyu adalah saat dimana sang penyu kembali ke lautan selepas bertelur. Hanya saja butuh waktu 3 jam untuk menyaksikan proses ini. Saya sendiri menyarankan kepada teman-teman yang lain untuk segera bergegas pulang ke tempat penginapan karena cuaca tiba-tiba berubah secara drastis. Langit yang tadinya cerah dengan cahaya bulan purnama, seketika berubah menjadi gelap dengan gumpalan awan hitam dan angin yang kencang serta suara petir yang bersahutan, cukup menyeramkan kondisi waktu itu. Sang sopir pun lagi-lagi memacu kendaraannya, hanya saja kali ini bukan karena excited, tapi karena khawatir sesuatu yang buruk terjadi apalagi salah satu dari kami mendapatkan SMS yang menyebutkan gempa di Chili akan mengakibatkan gempa susulan dan tsunami di wilayah Indonesia. Saya merasakan kepanikan yang cukup kentara di antara teman-teman saya, bahkan lagu-lagu pop elektronik yang diputar di mobil pada waktu itu tidak seperti biasanya yang mampu mengurangi kecemasan kami. Setelah sampai di tempat penginapan, kami baru bisa benar-benar bernapas lega, apalagi hujan turun tepat ketika kita baru tiba di penginapan, karena jika kami terjebak hujan di perjalanan, hampir bisa dipastikan kita tidak bisa pulang sampai keesokan harinya, karena kondisi jalan cukup parah yang jika turun hujan gerimis pun bisa membuat jalan tidak bisa dilalui mobil karena lumpur yang tebal. Lama kelamaan hujan turun semakin deras, membuat udara sekitar menjadi lebih dingin, seakan-akan menyuruh kita untuk semakin lelap tertidur.

Songs to say goodbye, to the edge of the rooftop

Finally this is it, hari terkahir liburan di Ujung Genteng, ada satu sisi dari kita yang merasa senang dan lega karena kembali ke peradaban dengan sinyal 3G, makanan enak yang mudah didapat, yang kesemuanya itu tidak bisa kita dapatkan di Ujung Genteng. Tapi jelas di sisi lain ada perasaan yang lebih besar mengenai keengganan kita meninggalkan liburan ini karena keindahan dan keceriaannya, apalagi beratnya kembali ke aktivitas sehari-hari yang menyebalkan. Lagu-lagu mellow dari John Mayer yang diputar di mobil waktu itu semakin mendramatisir suasana, menemani kami semua yang memandangi lautan yang semakin jauh kita tinggalkan.


Kidding well before farewell

Lamanya perjalanan menuju Sukabumi membuat semua orang bosan, bahkan hanya untuk tertidur. Akhirnya kami pun secara tidak sengaja mulai untuk bertukar lelucon, dan lama kelamaan semua orang berusaha mengeluarkan jokes terbaik mereka. Ada satu joke yang masih saya ingat sampai sekarang. Joke yang mungkin hanya dimengerti oleh orang yang terbiasa menggunakan Basa Sunda kuno. Bahkan saya saja yang merupakan orang Sunda asli memerlukan beberapa detik untuk berpikir memahami joke ini untuk kemudian tertawa terbahak-bahak. Jokenya itu sendiri kurang lebih seperti ini: “Tasbeh naon???” banyak orang pasti menjawab: ”nya keur wiridan atuh”. Tapi jawaban yang betul adalah: ”Tasbeh naon? nya ceh, deh, efh.” Kami pun terbahak-bahak dibuatnya. I think that was genious, yet ridiculous.. Canda tawa seperti ini membuat perjalanan yang berat selama 4 jam menjadi menyenangkan, and so did with this whole holiday that need a lot of efforts dan sacrifices, but it was worth it. Thank you for letting me join your holiday, and share the laughter together even though I’m a stranger for you guys. Once again, thank you very very much, and see you later mate!!!!