Jumat, 12 Desember 2014

Selalu Ada Istilah: "it's better late than never"

Kata orang, satu-satunya yang konstan di dunia ini adalah perubahan itu sendiri, premis itu pun sangat saya rasakan akhir-akhir ini terutama berkaitan dengan kegiatan tulis menulis saya. Beberapa bulan lalu saya pernah membuat tulisan tentang tekad latihan menulis. Dalam tulisan tersebut, saya berpendapat bahwa manusia itu sulit untuk konsisten dalam banyak hal tetapi juga sulit untuk melakukan perubahan. Always hard to stay the same just like how to stay make a change, atau mungkin terbalik. Tetapi bukan bahasanya yang penting melainkan pesan yang ada dalam judul album Vincent Vega tersebut.
Menurut saya, usaha untuk tetap menulis tetap perlu digalakan, seperti yang telah diutarakan sebelumnya. Hanya saja perlu cara yang lebih efektif setelah melalukan berbagai cara untuk mencapai tujuan tersebut. Kisah yang sering dijadikan referensi untuk usaha ini adalah bagaiman Thomas Alfa Edison harus melakukan percobaan lebih dari seribu kali sebelum akhirnya menemukan bola lampu. Kita juga mengenal istilah "it's better late than never". Begitu pula dengan saya, meskipun terhitung sudah uzur dalam memulai kebiasaan menulis, saya pun tak ragu untuk (terus memulai) menulis karena memang sangat besar manfaatnya baik untuk kegiatan personal maupun profesional. Berbagai cara pun telah dilakukan untuk memantik semangat menulis. Strategi saya sebelumnya adalah dengan menulis blog dalam bahasa Inggris dengan tujuan agar nanti pada saat menulis tugas akhir saya tidak terlalu kesulitan dalam melakukannya karena sudah merasa terlatih. Tetapi yang kemudian terjadi adalah tidak ada posting selain dari posting pertama tersebut. Salah satu penyebabnya mungkin adalah tulisan di blog ini berasal dari suara-suara tidak penting dari dalam kepala saya yang mungkin suara tersebut berbahasa Indonesia atau bahkan bahasa Sunda, sehingga butuh effort lebih untuk menuangkan suara dalam kepala saya tersebut kemudian menterjemahkannya dalam bahasa Inggris. Akibatnya suara-suara tersebut hanya angin lalu di kepala meskipun sebenarnya banyak hal-hal yang bisa diambil.
Untuk itu, saya bermaksud untuk mengubah strategi saya untuk menulis dalam bahasa Indonesia minimal untuk menjaga ritme saya dalam menulis, meskipun terkadang saya sendiri merasa tulisan saya di blog ini cukup aneh karena gaya bahasanya yang tidak bercorak atau beberapa orang berpendapat tidak berdasarkan genre tertentu, mungkin karena saya menyukai nove-novel bahasa Indonesia yang begitu indah dan plot yang menarik tapi di sisi lain mungkin karena saya telah terlalu lama menjadi kuli ketik surat dinas dengan bahasa yang kaku dan cenderung berbelit-belit (bukan berarti semua surat dinas itu berbelit-belit, tapi karena keterbatasan kemampuan saya yang membuat setiap surat dinas yang saya ketik menjadi berbelit-berbelit). Tapi apapun yang terjadi, saya harus tetap terus menulis demi masa depan yang lebih baik, tanpa perlu basa-basi atau hashtag apapun intinya just duit,...just do it. Wismilak....eh, wish me luck.

Jumat, 10 Oktober 2014

Always hard to make a Change, Just Like How to Stay The Same...A Self Contemplation

Always hard to make a change, just like how the stay the same...that was the first album title from Bandung-based Indonesian indie rock band called Vincent Vega. I don't know whether that phrase was originally made by themselves or it was just quoted from someone else's work which must be very famous in literary art but I don't know nothing about literary especially in English. If it was really made by them originally, I just can't imagine how non-native English speakers like me and them can contemplate in such way until find a phrase with a deep meaning and anagrammatic. Well, maybe I was wrong and they made that phrase by themselves. Maybe it's because I feel less confident lately especially regarding my English, thus it's hard for me to believe that a non-native English speakers can also use and produce good phrase of English well. I hope this 'self-underestimate syndrome' will be over soon for me.
On the other hand, that phrase reminds me that I am to lazy to make a change, a better change of course for example when I feel that I need a lot of practice to succeed in all these challenges I sometimes can't fulfil my own target of particular practice or exercise. Sometimes I wonder that is it a normal human behaviour that we are tend to be lazy or is it just me who can not motivate myself even though I already know the cost and benefit of particular thing like when I am doing this blog writing. I realize that this kind of writing exercise could help me boost my skill and sense of writing which I can use it in the future for both academic and professional purposes, but the reality is I can not do it regularly and it's been more than a week since the declaration to begin blog-writing in late September 2014. 
I know I am now struggling with this situation. Actually, it is not such a hard situation but I don't know why I feel there is something's not right yet I am now a post-graduate student of one of the best universities in the world, living in a big city, getting money without working in office hour, how could I ask for more? It's like living a dream of every school kids in my home town, even though I never dream this far before, honestly. By struggling with this kind of feeling, I am trying to do a new thing and against my own habit in order to get the right mood and succeed in all these challenges here eventually.
Let's just stop this melancholic feeling and get back to daily with full of hope and cheerful. Anyway, the band Vincent Vega which I have mention before is one of my favourite bands but unfortunately they don't make more album since the first one, I hope I am wrong on this.

Senin, 29 September 2014

Here I Go Again, after a long hiatus

It's been more than 1500 days since the last post of mind to this blog in mid-2010. There are a lot of stories I thought worth to Documented in this blog within the last 4 years, but it all just just end up in my own memory the which can be forgotten. It's simply Just Because (I feel) I have no time or maybe I was just lazy to share in this blog. Numerous of  interesting travel stories sould have been shared in this blog like some mountain climbing, backpacking into some town, or even just an album or a movie review.
Time does fly, and so do I. Many things change within the last 4 years from daily activities to the residence roomates I have moved in different areas. And now after taking a break from the routine of work in Jakarta due to Become a student in London, I (force myself) to have free time for the which I believe blogging as an activity that has brought a lot of benefits for me.
Obviously it won't be easy for me to start again writing activities like this after a long time hiatus. For me writing is an activity that is quite difficult because it requires a lot of skills, sometimes in writing I need to do small research even for a writing which is really serious. But that's the interesting part of writing, it trains me to do the validation to any data while keeping storyline remains interesting. This writing activity is also expected to be a small rehearsal before carrying dissertation in 2015. From now on, I determined to write anything (in the hope of benefits) through this blog to document daily life of a student in the realm of Britain mainland. Here I go again.

Jumat, 06 Agustus 2010

Paper Heart

Berhubung bulan puasa, kegiatan traveling pun dihentikan sementara, dan sebagai alternatif menghabiskan waktu saya pun menonton film. Akhir-akhir ini jarang sekali saya mendapatkan rekomendasi film yang berkualitas, namun setelah browsing dan mencoba-coba download sana-sini, akhirnya saya menemukan filam yang cukup bagus, baik secara konsep maupun secara alur cerita. Film tersebut adalah Paper Heart. Dari cover tersebut, tampak seperti film Korea yang mengisahkan tentang seorang gadis yang “tidak cantik” dan geek jatuh cinta kepada seorang pemuda tampan nan “cool”. Tapi ternyata jalan cerita film ini tidak sepicik itu.

Paper Heart merupakan sebuah film semi-dokumenter yang jujur saja sampai sekarang saya masih tidak mengerti apakah itu murni film dokumenter atau hanyalah cerita fiksi. Cerita di film ini mengisahkan tentang seorang atcress-comedian-singer-songwriter keturunan multi-etnis Amerika, Charlyne Yi yang mengaku tidak percaya bahwa “cinta” itu ada. Untuk itu dia bersama seorang produser mencoba membuat film dokumenter untuk mencari tahu pendapat orang-orang tentang apa itu “cinta”.

Semua orang yang ia temui di jalan, di taman, di tempat hiburan, di pemukiman masing-masing memberikan definisinya sendiri tentang apa itu “cinta”. Ia juga melakukan beberapa sesi wawancara khusus dengan beberapa orang yang memiliki pengalaman signifikan berhubungan dengan “cinta”, seperti seorang duda yang masih selalu memikirkan istrinya yang telah meninggal, dua orang pegawai pengadilan yang saling jatuh cinta yang kemudian menceraikan pasangannya masing-masing, sampai ke cerita bahagianya seorang penyelenggara pernikahan instan di Las Vegas yang setiap hari melihat orang-orang bahagia akan pernikahan instannya. Di tengah perjalanannya, Charlyne bertemu seorang pemuda pendiam yang bernama Michael Cera. Ternyata mereka berdua saling menyukai, dan pendapat Charlyne yang tidak percaya tentang “cinta” pun sepertinya terpatahkan namun ia tetap berusaha menyangkalnya.

Charlyne pun semakin dekat dengan Cera dan mulai banyak melakukan aktivitas bersama sehingga rencana untuk melanjutkan film dokumenter menjadi terbengkalai. Namun sang produser mempunyai ide bahwa kisah antara Charlyne dan Cera justru malah membuat film dokumenternya makin menarik sehingga sang produser memperbolehkan Charlyne bergaul dengan Cera tetapi dengan syarat setiap mereka bersama harus menggunakan clip-on dan kru kamera mengikuti kemana pun mereka pergi, sehingga alur cerita pun berubah menjadi tentang mereka berdua. Di awal, semuanya tampak menyenangkan dan mereka pun tidak keberatan untuk selalu diikuti kru film, tapi seiring hubungan mereka yang semakin dalam, mereka mulai membutuhkan privasi. Puncaknya ketika sang produser membutuhkan beberapa scene terakhir untuk film ini dan dia memutuskan untuk melakukan shooting di Paris “the city of love”, tapi ternyata Cera keberatan untuk terus didokumentasikan mengenai hubungannya dengan Charlyne, sedangkan Charlyne harus tetap megikuti arahan sang produser karena sudah berkomitmen untuk menyelesaikan film ini. Dan adegan di Paris pun menjadi sebuah ironi karena hanya ada Charlyne yang murung tanpa kehadiran Cera, bahkan Charlyne tampak sakit. But that’s not the end of the story.

Secara keseluruhan, film ini sangat menarik karena menyuguhkan konsep yang baru yaitu sebuah semi-dokumenter yang dicampur dengan komedi romantis, ditambah dengan skill pemeran utama yaitu Charlyne Yi yang memang multitalented, sehingga scoring dan original soundtrack film ini dibuat olehnya. Adegan favorit saya adalah ketika Charlyne mengunjungi taman bermain dan mewawancarai beberapa anak tentang pendapat mereka mengenai “cinta” yang mungkin cukup membuat Charlyne tersinggung seakan-akan menyadarkan dia tentang indahnya “cinta”.

Kamis, 24 Juni 2010

A Shark Quest



"Lewat sudah...
Tiga hari ‘tuk s’lamanya

Dan kekal lah,

Detik-detik di dalamnya"


Lagu itu memang tidak dalam playlist saya dalam perjalanan kali ini, tapi potongan lagu tersebut memang cocok sekali dengan tema traveling ini dan jujur saja saya pun masih agak kurang percaya bisa mewujudkan angan-angan traveling ini. But that’s the way it is, and here the story goes...

Berawal dari backpacking ke Pulau Tidung yang tidak seru, saya bersama teman kuliah berseloroh untuk melakukan backpacking yang lebih chalenging dan dengan sedikit sombong kita mentargetkan untuk pergi ke Karimun Jawa tanpa terpikirkan betapa sulitnya menuju kesana. Dan akhirnya setelah satu bulan kemudian dan dengan travel buddy yang tidak pasti, backpacking ke Karimun Jawa pun terwujud juga. Awalnya saya booking tiket dan sebagainya untuk tujuh orang, tapi karena “takdir” belum mengijinkan, kami pun hanya pergi berempat tanpa teman saya yang berseloroh untuk pergi Karimun Jawa saat kami di Pulau Tidung.

Mari saya ceritakan sedikit tentang travel buddy saya kali ini karena traveling kali ini memang sarat dengan hubungan antar manusia dalam traveling ini. Travel buddy saya yang pertama (selanjutnya disebut TB1) adalah teman saya satu kos, seorang teman yang jarang bertemu dengan saya meskipun kita satu kos, tapi kita cukup cocok ketika berdiskusi mengenai hal apapun. Travel buddy yang kedua (selanjutnya disebut TB2) adalah (mantan) pacar TB1, sejujurnya saya kurang yakin dengan status dengan hubungan diantara mereka berdua dan memang tidak terlalu ingin tahu. Honestly I’ve known her for about a year, tapi baru kali ini saya mengobrol langsung dengan dia dan untungnya suasana bisa langsung cair, mungkin karena ada (mantan) pacarnya which is teman saya satu kos tersebut. Travel buddy berikutnya (TB3) bisa dibilang sebagai main act dari acara ini, almost every interesting thing in this story related to her. Dia bekerja masih satu departemen dengan saya meskipun kita tidak satu gedung, tetapi dia bekerja dengan gedung yang sama dengan TB1. Cukup mengherankan ketika TB1 mengajak dia untuk bergabung bersama kami tanpa pikir panjang dan tanpa bertanya siapa saja yang ikut, dia pun bersedia bergabung dengan teman saya. Dia hanya menyaratkan agar ada wanita lain yang ikut. Kesediaan dia inilah yang membuat saya curiga kalau dia memang ada feeling kepada TB1.

Satu hari sebelum keberangkatan, formasi peserta traveling ke Karimun Jawa adalah lima orang, tapi di hari H teman saya membatalkan keikutsertaannya dan walhasil hanya kami berempat yang berangkat. Cukup aneh memang, rasanya seperti double date karena dua orang lainnya merupakan (mantan) pacar, tapi ini lebih aneh karena saya belum pernah bertemu sebelumnya dengan date saya kali ini, jadi bisa dibilang ini merupakan blind-double date. Saya menyangka akan satu seat di bus dengan teman saya (TB1), tapi ternyata (mantan) pacarnya meminta untuk duduk dengannya, sehingga saya pun duduk dengan TB3, sang pusat perhatian. Bagi pria pendiam seperti adalah sangat kikuk ketika harus berada satu seat dengan seorang wanita yang baru saya kenal beberapa jam, apalagi saya belum mempunyai persiapan untuk bahan percakapan kami. Tapi untungnya pembicaraan kita tidak terlalu kaku, mungkin karena dia sudah biasa meladeni para pria pendiam yang mencoba mendekatinya. Meskipun topik pembicaraan diantara kami terkesan standar, namun menurut saya tidak terlalu buruk untuk taraf pertemuan antara dua orang anak muda yang berniat traveling bersama. Beberapa jam kemudain, pembicaraan pun berakhir karena dia terlelap dalam tidurnya dan saya pun terlelap dengan playlist favorit yang telah saya siapkan.

Rencana traveling ke Karimun Jawa ini saya rancang sehemat mungkin termasuk memanfaatkan beberapa kolega BC (salah satu instansi ternama di Indonesia) selama transit di Semarang, sehingga saya berani mengumbar janji kepada travel buddy yang lain bahwa budget untuk traveling kali ini hanya sebesar Rp 700 ribu. Dan setelah SKSD dengan beberapa teman di Semarang kami pun mendapatkan fasilitas berupa penginapan gratis, makan malam gratis, dan tour Semarang yang juga gratis.

Kolega di Semarang tersebut sebetulnya merupakan teman kuliah TB1 dan mereka dikenal memiliki solidaritas tinggi karena telah mengalami bersama pendidikan yang berbau kemiliteran. Meskipun kita satu almamter, saya sendiri sebetulnya tidak kenal sebelumnya dan jujur saja ketika kami kuliah dulu saya kurang respek kepada mereka, karena ada beberapa oknum yang berperilaku kurang wajar atau berlebihan, dan tak usah saya deskripsikan lebih lanjut, especially when it comes about girls. Karena stigma saya itulah, TB1 saya push untuk melakukan koordinasi dengan mereka meskipun ide-idenya berasal dari saya.

Selama di Semarang, kami menggunakan kendaraan mini van sewaan untuk mengantar kami ketika mencari penginapan, mencari makan malam, berkeliling kota Semarang, dan menuju Pelabuhan Kartini-Jepara keesokan harinya. Kami menginap di Rinjani View dengan tarif Rp300 rb/malam, cukup mahal memang untuk ukuran backpacking tapi karena kami mengisi kamar itu berempat dan biaya kamar ditanggung oleh kolega di Semarang, saya pun fine saja meskipun sebetulnya saya sangat ingin menginap di guest house dekat pusat kota Semarang. Setelah check-in dan membersihkan badan, kami pun makan malam di suatu tempat yang saya lupa namanya. Makanan disitu biasa saja, hanya saja yang membuat tempat makan itu menarik adalah lokasinya yang berada di bibir bukit sehingga memiliki view city life kota Semarang di malam hari. Saya jadi teringat ungkapan teman saya ketika kami di angkringan Jogja, di sini mereka tidak menjual rasa, tapi menjual suasana (sebuah reaksi ketika saya komplain karena roti bakar yang saya makan tidak enak). Kembali lagi ke cerita saya di Semarang, setelah makan malam kami pun meluncur ke Sam Poo Kong. Kami tiba di sana sekitar pukul 21.00 WIB sehingga suasana sudah sepi dan banyak kuil di komplek tersebut yang sudah dimatikan lampunya, rencana kami untuk berfoto-foto pun kurang berjalan lancar karena view nya tidak bagus meskipun ada beberapa orang yang tidak kuat menahan hasrat narsisme untuk berfoto-foto.

Setelah Sam Poo Kong, the next destination is Gereja Imanuel also known as Gereja Beledug, entah bagaimana awal mulanya bisa dikatakan beledug. Tidak ada aktivitas spesial di sana, kami hanya foto-foto, yang menurut saya view nya tidak terlalu bagus tapi karena alasan menghargai tuan rumah, saya pun ikut berfoto bersama. Tidak sampai 15 menit kami di Gereja Beledug, perjalanan kami lanjutkan ke Mesjid Raya Jawa Tengah, sebuah tempat yang memang menjadi incaran saya untuk dikunjungi. Setiba disana, ternyata suasananya tidak seperti yang saya bayangkan, di sana tidak ada rombongan ibu-ibu pengajian yang berkunjung atau anak-anak yang akan belajar mengaji, yang ada hanya beberapa muda mudi sedang bercengkerama. Meskipun begitu, saya tetap mengagumi kemegahan arsitektur mesjid tersebut dan tidak seperti di tempat-tempat yang kami kunjungi sebelumnya, saya mulai berpikir untuk mencari angle terbaik dan berfoto-foto karena memang disinilah merupakan target tempat yang ingin saya kunjungi di Semarang. Tidak lama kami menghabiskan waktu di Mesjid Raya Jawa Tengah ini karena malam yang semakin larut dan kami harus bangun sangat awal untuk persiapan berangkat ke Pelabuhan Kartini, Jepara.

Terbangun di pukul 04.00 dinihari memang sangat berat apalagi setelah perjalanan panjang dan kurang istirahat, tapi itulah yang harus kami lakukan agar tidak terlambat berangkat ke Pelabuhan Kartini, selain juga karena kami berempat tidur di kamar yang sama sehingga kami harus mengalokasikan lebih banyak waktu untuk berbagi waktu penggunaan kamar mandi. Pukul 5.00 kami dijemput oleh seorang teman yang akan mengantarkan kami ke Pelabuhan Kartini, dan dia membawa adiknya (TB5) untuk bergabung bersama kami ke Karimun Jawa. Sepanjang perjalanan, teman kami itu memacu kendaraannya sangat cepat karena tidak satupun diantara kami yang mengetahui dengan pasti pelabuhan Kartini itu. Setelah bertanya kepada penduduk sekitar kota Jepara, kami pun tiba di pelabuhan dan saya langsung menuju loket untuk mengambil tiket yang telah dijanjikan tour guide kami. Ternyata kami tiba di sana terlalu pagi dan jadwal keberangkatan kapal lebih lambat satu jam dari yang kami perkirakan. Selang waktu satu jam tersebut kami pergunakan untuk sarapan, mengunjungi museum kura-kura, dan berfoto-foto, tentunya.

Satu jam kemudian kapal pun membunyikan tanda kmai harus memasuki kapal. Tiket yang kami pesan adalah tiket VIP sehingga bayangan yang ada di kepala saya adalah sebuah ruangan khusus untuk kami berlima dengan fasilitas hi-fi. Tapi ternyata yang kamu dapatkan adalah sebuah ruangan yang cukup besar dengan kapasitas cukup untuk 50 orang dan furnitur yang mirip terminal di beberapa dekade lalu. Agak beruntung kami mendapatkan posisi tempat duduk tepat di tengah-tengah sehingga kami tidak perlu menggunakan otot leher untuk menonton TV meskipun sebenarnya acara TV yang kami tonton hanyalah sinetron murahan belaka, bahkan sesekali sang operator menggantinya dengan siaran VCD Dangdut Electone dokumentasi pernikahan yang sangat seronok. Tapi justru bagi kami itulah hiburan sebenarnya karena kami bisa tertawa dan berkomentar atas kelakuan sang penyanyi dalam VCD yang seronok itu. Perjalanan dengan kapal ini memakan waktu 6 jam untuk samapai di Karimun Jawa eshingga tampak semua orang dalam kapal menyimpan energinya dengan tidur sepanjang perjalanan, begitu juga dengan saya meski hanya bisa tidur beberapa saat. Waktu luang itu saya manfaatkan untuk berjalan keliling kapal dan ternyata suasana kapal cukup sesak di setiap geladak, membuat saya bersyukur atas ruangan "VIP" yang saya tumpangi.

Enam jam kemudian akhirnya kami pun tiba di Karimun Jawa, "tanah yang kami impikan selama ini". Tidak disangka memang akhurnya kami yang bukan merupakan petualang yang tangguh bisa mencapai karmun jawa dengan selamat sentausa. Kami pun langsung berkomunikasi dengan Mas Ari (tour guide kami) untuk membuat skejul acara sepadat mungkin mengingat waktu kami di Karimun yang tidak lebih dari 14 jam saja. Kami langsung disuguhi makan siang yang seharusnya disajikan di perahu sebelum kami snorkling. Tapi saya memaksa dia untuk menyajikannya tepat ketika kami tiba di pelabuhan, untuk menghemat waktu sambil menunggu mobil jemputan tiba untuk mengantar kami ke guest house.

Kami tinggal di sebuah guest house yang diberi nama “Anais”, lokasi memang tidak langsung di pinggir pantai dan dibutuhkan waktu sekitar 10 menit berjalan kaki untuk menuju pantai tempat perahu kami berlabuh. Guest house tersebut terdiri dari sekitar 6 kamar dan hanya satu kamar yang digunakan oleh sang pemilik, dua diantaranya digunakan oleh rombongan lainnya yang kami belum sempat mengobrol karena padatnya jadwal kami selama di Karimun Jawa. Dan layaknya seorang tentara yang sedang dalam masa pendidikan, kami selalu diberi tenggat waktu oleh guide kami disana contohnya untuk bersiap-siap sebelum ke pantai kami diberi waktu 5 menit saja untuk bersiap-siap. Sebetulnya 5 menit tidaklah cukup untuk kami melakukan persiapan karena kami baru saja tiba dan harus langsung menuju pantai. Tapi mungkin sudah menjadi sifat manusia yang menjadi bersemangat jika mempunyai motivasi tertentu, dan motivasi kami waktu adalah berenang bersama hiu.

Ya, dengan perasaan yang bercampur antara excited, takut, dan penasaran kami pun tiba di kolam penangkaran ikan hiu. Disana terdapat dua kolam dengan ukuran yang hampir sama, di kolam sebelah kiri kami dipersilakan untuk hanya melihat saja karena itu merupakan kolam untuk hiu yang belum jinak, sedangkan kolam sebelah kanan tampak beberapa hiu sedang bergumul ditambah seekor penyu yang menggemaskan. Kolam tersebut merupakan kolam penangkaran ikan hiu yang jinak dan cukup aman bagi kami untuk berenang di dalamnya.

Setelah berkonsultasi dengan pengelola kolam, saya pun langsung terjun dan merasakan ketegangan yang amat sangat ketika dekat dengan kawanan hiu, rasanya seperti mimpi apalagi ketika kawanan hiu melintas ke arah saya dan selama itu pula saya menahan napas saya. Untuk berjalan di kolam pun agak was-was karena takut menginjak salah satu hiu sebab menurut keterangan sang pengelola, hiu-hiu itu tergolong jinak namun tetap akan menyerang jika ekornya diganggu. Setelah beberapa menit kami pun mulai tidak merasa canggung, dan kemudian sesi pengambilan foto pun dimulai.

Kurang lebih 30 menit kami berada di penangkaran hiu tersebut dan perjalanan dilanjutkan untuk mendapatkan “main course” lainnya yaitu snorkling di lokasi yang agak jauh dari tempat penangkaran hiu. Seperti biasa, saya selalu membandingkannya dengan tempat-tempat snorkling yang pernah saya kunjungi. Spot snorkling kali ini menurut saya tidak terlalu variatif meskipun bentuk karang dan jenis ikannya sangat indah, mungkin karena kami tidak punya cukup banyak waktu untuk mengeksplor semua spot snorkling yang ada di sana atau bahkan disana lebih difokuskan untuk diving dengan perairan lebih dalam. Hanya satu spot snorkling yang kami kunjungi sore itu sehingga lebih dari cukup untuk mengeksplor satu spot snorkling saja dan saya pun mengisi sisa waktu yang ada dengan berleha-leha di permukaan laut sambil matahari menikmati terbit, meskipun cuaca waktu agak berawan, tapi tetap indah dan sangat enjoyable.

Saat adzan maghrib berkumandang kami pun bergegas pulang ke penginapan untuk membersihkan badan dan satu jam kemudian kami pun kembali dijemput untuk agenda berikutnya yaitu berkeliling pulau dan menikmati pesta rakyat di alun-alun. Kami pun agak bersemangat untuk ini karena kami memang sangat ingin tahu bagaimana kehidupan masyarakat sekitar. Ternyata yang kami dapatkan adalah suatu lapangan di alun-alun depan kantor kecamatan yang terdapat beberapa penduduk bercengkerama ditambah beberapa pedagang kaki lima yang menjajakan berbagai produk kebutuhan sehari-hari dan makanan. Tapi ternyata sajian utama malam itu adalah pemutaran film tentang Karimun Jawa melalui layar tancap. Cukup menyenangkan untuk berada di situasi seperti itu karena kita sudah jarang mendapatkannya di perkotaan. Judul film itu sendiri saya lupa dan bahkan jalan ceritanya pun saya kurang tahu persisnya seperti apa karena sebetulnya sambil menonton film itu saya dan beberapa penduduk lokal berbincang-bincang dengan penduduk lokal, sebuah ritual yang jauh lebih penting daripada menonton film yang mungkin bisa saya download dari youtube.

Kami berada di alun-alun hingga sekitar pukul sepuluh malam dan waktu itu acara belum benar-benar usai tapi kami harus segera kembali ke penginapan untuk beristirahat karena keesokan harinya pagi-pagi sekali kami akan kembali melakukan snorkling sesi kedua.

Snorkling di pagi hari merupakan hal baru pertama bagi saya dan agak kurang lazim memang di saat mata ini masih susah dibuka tapi harus sudah berenang di pagi buta. Tapi inilah konsekuensinya jika kami hanya puka kurang dari 24 jam untuk berada di Karimun Jawa sehingga kami memanfaatkan setiap detik ada selama di sana. Selepas sholat shubuh kami dijemput oleh sebuah mobil pick up menuju sisi lain Pulau Menjangan yang memakan waktu sektar 15 menit sampai tibalah kami di sebuah pantai yang sangat sepi dengan pemandangan sebuah gunung di belakangnya yang saya lupa namanya. Snorkling kali ini tidak diawali dengan mengendarai perahu ke spot tertentu, melainkan kami diharuskan berenang agak menjauh dari tepi pantai. Awalnya saya cukup bersemangat untuk berenang agak jauh dari tepi pantai, sehingga saya pun berenang tanpa alat bantu pelampung dan sebagainya tetapi setelah berenang cukup jauh saya tidak melihat apa-apa kecuali tumpukan rumput laut. Ternyata saya berenang ke arah yang salah sehingga saya harus kembali ke tepi pantai untuk mengkonfirmasi tentang arah yang benar, namun setelah saya kembali ternyata saya sudah lelah. Akhirnya saya berenang dengan sesekali dibantu oleh guide saya karena memang letak karang itu juga cukup jauh dari tepi pantai. Spot snorkling kali ini cukup bagus meskipun tidak terlalu luas dan hanya sedikit spesies ikan yang bisa dilihat karena arus laut waktu itu cukup kuat. Maksud kami kesana selain untuk snorkling adalah untuk menikmati matahari terbenam, namun cuaca waktu itu kurang bersahabat sehingga kami tidak bisa melihatnya dengan jelas dan satu jam kemudian matahari sudah meninggi dan suasana disekitar pantai menjadi jelas terlihat. Sambil menunggu jemputan kami datang, kami pun kembali bercakap-cakap dengan sang guide dan sambil berkeliling melihat keadaan sekitar. Ada yang membuat kami cukup terkejut waktu itu adalah bahwa tidak jauh dari pantai terdapat sebuah komplek pemakaman dengan beberapa papan seperti papan pengumuman yang isinya tentang petuah-petuah bijak. Suasana menjadi semakin tidak mengenakkan karena tidak ada orang lain lagi disitu selain kami, dan mobil jemputan yang kami tunggu tak kunjung tiba. Beberapa menit kemudian, tibalah mobil jemputan yang kami tunggu dari tadi dan dengan semangat kami pun langsung meninggalkan pantai itu menuju penginapan untuk melakukan packing terakhir sebelum pulang.

Makanan yang disajikan oleh pemilik rumah kami selalu saja terlalu banyak dan kali ini kami mempunyai ide lain yaitu meminta untuk dibungkuskan sisa makanan jatah kami sarapan agar bisa dijadikan bekal di kapal, cukup lumayan untuk menghemat. Pukul 08.00 pagi kami pun sudah berada di pelabuhan menaiki kapal yang sama dengan yang kami gunakan ketika kami berangkat. Setelah mendapatkan tiket kami pun langsung menuju tempat duduk yang ditentukan dan langsung semuanya langsung mengambil posisi untuk tidur karena kami semua memang merasa kurang tidur. Hampir sepanjang perjalanan kami menghabiskannya dengan tidur, kecuali saya. Terlau banyak tidur di perjalanan membuat kepala saya agak pusing sehingga saya memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kapal.

Ternyata suasana di sekitar kapal tidak seperti ketika kami pergi di hari sebelumnya. Kali ini suasana geladak tampak lengang, hanya tampak beberapa orang yang ingin menikmati suasana Laut Jawa sambil duduk di tepian dek, atau beberapa orang yang sengaja berjemur di bawah terik matahari. Yang menarik adalah adanya beberapa orang (terutama wanita) yang berduyun-duyun menuju bagian depan kapal, dan ternyata disana ada seorang aktor Indonesia yang juga mengendarai kapal yang sama, mungkin ia sedang shooting karena ia dikenal sebagai host salah satu variety show di TV mengenai jalan-jalan wisata terutama di Indonesia.

Enam jam kemudian kami tiba di Pelabuhan Jepara, perjalanan pun kami lanjutkan dengan menggunakan becak menuju terminal, sekitar 3 km dari pelabuhan. Setelah itu kami menggunakan bus kecil untuk menuju Semarang. Perjalanan Jepara-Semarang memakan waktu 2 jam dan kami turun di Terminal Semarang untuk kemudian disambung dengan perjalanan menuju Stasiun Tawang dengan menggunakan taksi. Agak melanggar kaidah bakpacking memang, tapi kami tampaknya sudah terlalu lelah dan butuh sedikit kenyamanan dengan AC, selain juga karena kami perlu segera menuju stasiun untuk mendapatkan tiket. Kami tiba di Stasiun Tawang sekitar pukul lima sore dan langsung menuju loket dengan berharap masih terdapat sisa tiket kereta api menuju Jakarta. Di depan loket telah terdapat beberapa orang yang sudah mengantri dan ketika tiba giliran kami, yang kami dapatkan hanyalah tiket tanpa tempat duduk. Karena panik dan takut tidak mendapat kendaraan menuju Jakarta, kami pun terpaksa membeli tiket tersebut. Untuk mensiasati keadaan ini, kami menghubungi salah satu oknum petugas kereta api dengan harapan mendapatkan kursi kosong. Setelah bernegosiasi, kami sepakat untuk membayar 20 ribu untuk mendapatkan 3 kursi kosong dan satu lapak di lantai kereta, karena ternyata di saat long weekend seperti ini bahkan untuk duduk di lantai kereta pun susah. Kami pun membagi jatah yang ada, dua orang wanita duduk di kursi, saya bersama teman saya yang laki-laki mendapatkan jatah untuk duduk di lantai.

Menjelang jam 8 malam, penumpang pun semakin banyak yang berdatangan dan ternyata jatah kursi yang diberikan oleh sang oknum tadi ada pemiliknya, jadi saya harus memindahkan kedua teman wanita saya itu ke tempat kami dan sekarang jadilah kami empat orang yang sudah lelah berlibur harus ditambah lagi kelelahannya dengan tidak di kursi kereta api layak selama 8 jam perjalanan. Situasi ini diperparah dengan kereta yang berhenti beberapa kali di beberapa tempat sehingga beberapa penumpang gelap masuk ke dalam kereta dan ini membuat kami semakin terhimpit. Kondisi kami yang terhimpit membuat kami tidak bisa tidur sepanjang malam, tetapi hikmhanya kami sepanjang perjalanan mengobrol dan menjadi lebih kenal satu sama lain. Kereta tiba di Stasiun Pasar Senen pukul lima pagi, tepat seperti yang dijadwalkan. Mungkin inilah satu-satunya hal yang bisa disyukuri dari perjalanan dengan menggunakan kereta api ini.

Secara keseluruhan, liburan kali ini cukup menyenangkan karena ternyata saya bisa mewujudkan angan-angan saya untuk bisa snorkling di Kepulauan Karimun Jawa, ditambah dengan tour satu hari di Semarang yang mengunjungi berbagai tempat ibadah tanpa direncakanan sebelumnya. Satu hal yang menjadi kekurangn dari traveling kali ini adalah perjalanan pulang menuju Jakarta karena kami harus merasakan apa yang teman saya sebut sebagai “kereta api bisnis rasa ekonomi”. Tapi mungkin itulah yang namanya hidup, bahwa segala sesuatunya belum tentu sesuai dengan apa yang kita harapkan. C’est la vie.....

Minggu, 20 Juni 2010

Played Well before Farewell


There's plenty of time left tonight
I promised I'd have you home before daylight
We do the best we can in a small town
Act like big city kids when the sun goes down

If it's not too late for coffee
I'll be at your place in ten
We'll hit that all night diner
And then we'll see

(Coffee performed by Copeland)

Lagu itulah yang sering menemani saya di awal-awal masa menjadi anak kos di Jakarta, sendirian tak punya teman kecuali sebuah radio tape usang yang hampir 24 jam menyala hanya untuk menemani saya melewati masa-masa menjadi anak kos di awal kuliah dulu.

Beberapa tahun kemudian, seiring bertambahnya teman, pengetahuan saya pun bertambah, apalagi setelah saya dan teman-teman saya satu kos dulu mulai menyewa sambungan internet yang saya manfaatkan untuk menjadi “teman baru” saya untuk mencari informasi-informasi baru. Karena internet lah saya menjadi semakin terbuka terutama untuk masalah pengetahuan yang berhubungan dengan musik. Dan lagu-lagu dari Copeland tadi menjadi salah satu yang saya explore terus menerus sampai saya “khatam” dengan semua lagunya, mulai dari album Beneath Medicine Tree, Dressed Up In Line, Eat Sleep and Repeat, hingga yang terakhir yaitu Should You Return.

Kini setelah 4 tahun sejak pertama kali saya mendengarkan lagu dari Copeland dan setelah kurang lebih 3 tahun saya merasa beberapa lagu dari Copeland sebagai soundtrack hidup saya, akhirnya saya bisa melihat mereka tampil live di hadapan saya di Bandung, kampung halaman saya. Meskipun kabar baik ini disertai dengan kabar yang kurang mengenakkan karena mereka berencana untuk bubar. Semoga saja ini hanyalah taktik manajemen marketing mereka untuk menarik lebih banyak orang agar tidak mau melewatkan tour mereka yang katanya terakhir dan mereka beri nama “The Farewell Tour”.

The Farewell Tour direncanakan untuk digelar pada 8 Mei 2010, dan sejak bulan April saya sudah memesan tiketnya, karena saya tak mau melewatkan salah satu band favorit saya ini. Copeland memang sudah masuk kategori band yang patut saya tonton karena sudah memeuhi standar minimal band untuk saya tonton, saya sudah “khatam” mendengarkan lagu-lagu Copeland dari album pertama sampai terakhir, dan beberapa diantaranya saya rasakan sangat pas dengan suasana saya di waktu-waktu tertentu. Lagu “Coffee” sangat cocok saya dengarkan ketika saya merasa hectic dengan kehidupan kota, lagu “Suitcase Song” sangat cocok saya dengarkan ketika saya merasa sangat ingin lari dari semuanya, lagu “Good Morning Fire Eater” yang terasa menyemangati setiap pagi hari saya, dan tentunya beberapa lagu mellow yang memang menjadi spesialisasi dari Copeland itu sendiri seperti "Brightest", "Priceless", "On The Safest Ledge", "No One Really Wins" dan masih banyak lagi.

Hari yang dijadwalkan pun tiba, setelah bertemu dengan beberapa kawan lama di sore hari saya langsung meluncur ke venue dengan menggunakan kendaraan umum karena tidak ada teman untuk tumpangan dan lokasi kali ini cukup jauh dari pusat kota dan merupakan jalur macet di akhir pekan.

Setelah satu jam menembus macetnya jalanan, saya pun tiba di venue yang memang tidak sepadat biasanya saya datang ke tempat tersebut untuk menonton konser. Sepertinya pada waktu itu tiket belum terjual semuanya, mungkin karena Copeland memang belum banyak dikenal di Indonesia tapi justru memang yang saya inginkan karena saya ingin menonton konser yang tdak terlalu crowded dan bisa lebih intimate. Meskipun tampaknya promotor acara ini telah cukup gencar berpromosi di beberapa media tapi menurut saya mereka berpromosi di acara-acar yang kurang tepat dengan target market yang kurang tepat juga, walhasil penonton yang datang pun tidak terlalu banyak.

Gate venue dibuka pada jam 8 malam, tepat seperti yang dijadwalkan dan saya pun mengantri dengan calon penumpang yang lannya yang ternyata jumlahnya semakin banyak, tidak seperti yang saya kira. Saya pun turut larut ke dalam kerumunan dan tanpa sengaja saya tergiring ke barisan depan yang langsung berhadapan dengan stage, suatu kebiasaan yang jarang sekali saya laukan karena biasanya saya memilih untuk menonton konser dengan posisi yang agak jauh dari stage

Saat-saat menunggu sang headliner biasanya dilakukan dengan menonton opening act, tapi konser ini tanpa opening act sehingga promotor mengisinya dengan memutar lagu-lagu dari sang headliner. Sisi positifnya adalah penonton bisa sambil menghafal (atau bahkan mengenal) lagu-lagu dari sang headliner yang memang belum terlalu dikenal, dan bagi penonton yang memang sudah hafal bisa langsung pemanasan untuk singalong sebelum melakukannya dengan sang headliner beberapa saat kemudian.

Satu jam kemudian situasi masih tetap sama, lagu-lagu yang tadinya dinikmati penonton menjadi begitu membosankan dan para penonton pun mulai mengeluh dan menggerutu. Ternyata keluhan penonton tersebut ditanggapi promotor melalui pengeras suara dengan berkilah bahwa penundaan ini semata-mata untuk menunggu penonton yang lain yang terjebak macet. Beberapa menit kemudian, dari giant screen di kedua sisi stage penonton bisa melihat kedatangan sang headliner tiba di lokasi, suatu prosesi yang jarang dilakukan di Indonesia dan mungkin patut ditiru oleh promotor lain hanya saja mungkin kendaraan yang digunakan harus lebih prestige lagi karena kendaraan yang digunakan kali ini hanyalah sebuah mini-van avanza, mungkin ini alasan promotor untuk menciptakan kesan jauh dari kemewahan dan sangat indie (hopefully).

Kedatangan sang headliner ke venue disambut dengan sangat gembira oleh penonton, tapi tampaknya mereka harus melanjutkan kembali untuk mengeluh dan menggerutu karena ternyata setelah sang headliner tiba di venue, mereka tidak langsung tampil di stage melainkan tertahan di backstage untuk melakukan interview dengan salah satu TV nasional. Bisa jadi stasiun TV tersebut menjadi salah satu sponsor utama sehingga punya hak untuk melakukan interview kapan pun, tapi menurut saya jadwal interview seperti ini tidak lazim dalam sebuah konser dan tampaknya penonton yang lain pun berpikiran sama seperti saya sehigga setiap interview itu ditayangkan di giant screen, penonton pun kompak untuk menyorakinya bahkan memakinya.

Akhirnya setelah satu setengah jam lebih menunggu, performance dari sang headliner pun dimulai dengan sebuah interlude yang cukup memukau di tengah-tengah sebuah backdrop yang simple dengan tulisan : Copeland, The Farewell Tour. Outfit yang mereka gunakan pada malam itu sangat indie rock sekali yaitu menggunakan pakaian mereka sehari-hari. Cara mereka berpakaian yang sederhana sangat berlawanan dengan penampilan musikalitas mereka yang sangat total. Aaron Marsh sang vokalis yang juga memainkan gitar dan keyboard, terlihat sangat menjiwai di setiap lagu yang ia bawakan. Sedangkan sang gitaris-yang saya agak lupa namanya-meskipun terlihat sangat cool, permainan gitarnya cukup menunjukkan totalitas dia pada malam itu, sayangnya saya kurang bisa mengamati personil lainnya karena lokasi saya agak di sebelah samping stage.

Tanpa terasa dua jam sudah mereka menyedot atensi penonton dengan bermain cukup gemilang di stage, dan hampir semua teriakan request para penonton pun mereka penuhi serta diwarnai dengan penampilan beberapa lagu yang mereka aransemen ulang atau dibawakan secara akustik. Menjelang berakhirnya konser, backdrop stage yang tadinya terlihat sederhana berubah menjadi nyala dengan efek cipratan cat yang cukup indah. Suasana ini semakin melengkapi kesenduan atmosfir pada saat itu yang sangat kental dengan aroma perpisahan, apalagi pada saat Aaron Marsh memainkan lagu “California” yang pada beberapa potongan liriknya diganti dengan kata “Indonesia” , suatu cara yang elegan untuk menghargai tuan ramah tanpa harus memuji dengan berlebihan.

Setelah ritual standar encore, Copeland kembali ke panggung untuk memainkan beberapa lagu dan penampilan ditutup dengan kembang api, kurang lazim memang untuk sebuah band indie rock menggunakan kembang api untuk aksesoris panggung tapi tampaknya kali ini menjadi sebuah pengecualian karena ini merupakan tur perpisahan.

Overall, saya merasa dengan semua usaha yang saya lakukan demi supaya bisa menonton konser ini terasa worth it karena saya akhirnya bisa menyaksikan sebuah band yang lagu-lagunya sudah menjadi soundtrack pada saat-saat tertentu dalam hidup saya. Hampir semua lagu favorit saya dinyanyikan pada malam itu, kecuali “Goodmorning Fire Eater” dan beberapa lagu remake yang tampaknya memang tak akan dinyanyikan di sebuah tur perpisahan. Secara kesuluruhan pula penampilan Copeland pada malam itu nyaris tanpa cela. Satu-satunya hal yang membuat saya kecewa pada malam itu adalah keterlambatan yang hampir memakan waktu satu setengah jam, namun saya juga cukup mengapresiasi sang promotor karena telah mampu mendatangkan sebuah band yang tidak mainstream dan tanpa opening act sama sekali, menjadikan show malam itu seakan sangat segmented untuk orang-orang yang memang ingin meyaksikan sebuah show luar biasa dari band favorit mereka yang terakhir kalinnya. Dan sepertinya harapan semua penonton terpenuhi untuk menyaksikan show semacam itu karena Copeland bermain sangat apik, they really played well, before fare well.

Rabu, 26 Mei 2010

Sometimes, Loneliness Makes It Better


Tepat empat minggu sejak traveling saya terakhir saya ke Tanjung Lesung awal bulan April lalu, saya pun menikmati backpacking kembali di minggu ketiga bulan April, dan tujuan backpacking kali ini adalah Pulau Tidung di Kepulauan Seribu. Sedikit overdosis memang, karena seharusnya saya traveling di akhir bulan atau seminggu selanjutnya, tapi berhubung tekanan pekerjaan yang tinggi membuat saya dying akan traveling sekedar untuk berlibur dan melupakan sejenak kehidupan kantor meskipun saat itu bukan long weekend.

Setelah berwacana cukup lama dengan teman kuliah tentang traveling bersama, akhirnya kami pun sepakat untuk melakukannya kali ini ke Kepulauan Seribu. Anggota tim backpacking kali ini terdiri dari 7 orang, yang 2 orang diantaranya teman saya kuliah dulu, dan sisanya teman kantor salah satu teman saya. Ketujuh orang ini terdiri dari lima orang laki-laki seumuran dan sepasang boyfriend-girlfriend. Awalnya saya agak ragu apakah satu-satunya wanita ini mampu backpacking bersama saya, namun teman saya menjajikan bahwa wanita ini agak tomboy dan setelah kami traveling bersama, saya pun percaya bahwa dia memang tomboy, meskipun terkadang juga manja (seperti wanita pada umumnya) tapi khusus kepada sang kekasih.

Hari H pun tiba, kami memilih (depan) salah satu hotel sebagai meeting point karena beberapa diantara kami ada yang sedang mempunyai acara dan menginap di sana. Seperti biasa, acara berkumpul pun telat setengah jam (sangat Indonesia sekali bukan??) tapi kali ini saya tidak terlambat dan bahkan menjadi yang pertama. Setelah berkenalan satu sama lain, kami langsung bergegas ke Muara Angke dengan menggunakan dua taksi, dengan tarif yang cukup realistis yaitu Rp60 ribu.

Backpacking kali ini saya tidak melakukan riset yang dalam terlebih dahulu karena beberapa bulan yang lalu saya backpacking ke Kepulauan Seribu hanya saja ke Pulau Pramuka dan kali ini ke Pulau Tidung, jadi saya menganggap tidak memerlukan persiapan khusus karena kedua pulau tersebut bagi saya sama saja. Saya pun sudah mengenal trik-trik dalam bepergian ke Kep. Seribu. Persiapan traveling kali ini memang tidak serumit biasanya, cukup ditambah dengan obat anti mabuk untuk bisa beristirahat di dalam kapal kayu yang banyak memakan ‘korban’ mual-mual karena mabuk laut.

Akibat obat anti mabuk lah perjalanan kali ini pun terasa singkat, karena hampir sepanjang perjalanan saya tertidur padahal di dalam geladak kapal saya berada bersama beberapa wanita cantik, tapi nampaknya obat anti mabuk mengalahkan keinginan saya untuk bercengkerama dengan mereka. Kurang lebih tiga jam kemudian kami pun sampai di dermaga Pulau Tidung, sebuah tempat sederhana yang hanya terdapat beberapa kapal kecil saja yang bersandar di sana. Suasana dermaga pun ramai dengan para pemilik homestay atau para tour guide yang menjemput tamu-tamunya. Satu hal yang cukup menganggu saya di dermaga itu adalah cukup banyaknya sampah di perairan sekitar dermaga, sungguh sangat disayangkan padahal air di sana cukup jernih.

Setibanya di sana, kami pun langsung menghubungi sang pemilik homestay, Pak Bustamil dan saya ditunjuk untuk melakukan koordinasi dengannya sekaligus menyampaikan aspirasi dari teman-teman yang lain kepada sang pemilik hotel. Setelah sedikit berbasa-basi saya pun langsung mengalihkan topik pembicaraan ke arah yang ‘agak sensitif’ yaitu masalah harga. Sebetulnya saya agak pesimistis untuk bisa menawar harga disana karena saya tahu bahwa di sana memang ada semacam organisasi atau kartel yang memang bersepakat untuk memasang tarif pada nilai tertentu. Tapi dengan sedikit pengelaman saya punya dalam tawar menawar harga, ternyata saya mampu menurunkan harga sebesar Rp50ribu. Penginapan yang kami dapat adalah Pondok Salsabila, cukup nyaman dengan 1 kamar tidur, kamar mandi, dan dapur dengan ruang tengah di bagian depannya. Harganya cukup murah yaitu Rp250 ribu/hari. Pak Bustamil, ternyata bukan sebagai pemilik pondok, dia hanya mengkoordinasikan asset-aset milik penduduk untuk disewakan kepada wisatawan. Jadilah kita bertansaksi dengan Pak Bustamil tidak hanya untuk penginapan, tapi juga untuk sewa perahu, alat snorkeling, termasuk makan dan kelapa muda. Total biaya yang kita habiskan selama di sana sebesar Rp1.055.000, tidak terlalu mahal memang karena kita bertujuh.

Lokasi pondok tersebut memang agak jauh dari dermaga, dan kurang strategis jika kita ingin keliling pulau. Selepas makan siang, kami langsung pergi berlayar. Ternyata meskipun cuaca cukup cerah, hari itu ombak bergelombang cukup tinggi tapi kami masih bisa meminta sang empunya kapal untuk membawa kami ke spot snorkeling yang agak jauh. Rencananya kami akan snorkeling di tiga tempat berbeda, tapi karena ombak yang kurang mendukung membuat kami hanya pergi ke dua tempat dan itu pun salah satunya hanya di tepi pantai ujung pulau Tidung.

Jujur saja, snorkling membuat saya addicted dan saya selalu merasa takjub setiap kali snorkling, tak peduli baik karang dan mahluk laut lainnya yang saya lihat itu bagus atau tidak. Snorkling kali ini menurut saya tidak seindah ketika saya snorkling di Pulau Pramuka lalu. Mungkin disamping itu snorkling pertama saya, atau bisa juga karena karang di Pulau Tidung tidak seindah karang di sekitar pulau Pramuka. Karang di sekitar pulau Tidung tidak berwarna-warni dan saya melihat banyak pecahan-pecahan karang yang sudah mati, terkadang pemandangan bawah laut seperti itu agak creepy bagi saya apalagi di spot-spot yang tidak ada ikannya. Tapi di beberapa spot lainnya meskipun banyak terdapat pecahan karang mati, masih terdapat banyak ikan yang berwarna-warni nan menawan. Menurut saya ikan-ikan yang saya lihat di perairan Pulau Tidung lebih indah daripada ikan-ikan yang saya lihat di perairan pulau Pramuka, hanya saja ombak waktu itu di Pulau Tidung membuat sulit bagi kami untuk melakukan snorkling dengan tenang.

Ombak laut waktu itu memang cukup menyeramkan, awalnya kami menikmatinya tapi lama kelamaan suasana menjadi cukup menyeramkan, terutama ketika dua orang tour guide di kapal yang juga merupakan penduduk setempat. Entah disengaja atau tidak, kurang bersahabatnya ombak pada waktu itu "dimanfaatkan" oleh tour guide kami sebagai alasan untuk tidak membawa kami ke beberapa spot yang agak jauh. Jujur saya sebetulnya saya agak kecewa gelombang laut yang tinggi dijadikan alasan untuk tidak mengunjungi beberapa spot di perairan sekitar Pulau Tidung, dan kami pun gagal mengunjungi ujung barat Pulau Tidung karena sang tour guide sudah ketakutan untuk berlayar dengan ombak yang tinggi. Dengan sedikit kecewa kami pun pulang ke homestay, tetapi saya tidak kehilangan semangat untuk memburu sunset di Pulau Tidung dengan berjalan kaki menuju ujung pulau untuk menyaksikan sunset.

Perjalanan dari homestay menurut saya cukup dekat, sehingga saya memutuskan untuk berjalan kaki sambil menyusur pantai. Di perjalanan, langit sudah semakin gelap dan saya pun mempercepat langkah kaki menuju ujung pulau. Tampak beberapa turis lain juga berjalan ke arah yang sama seperti kami. Tanpa terasa kami saya sudah berjalan cukup jauh tapi ujung pulau belum juga tampak, ternyata pulau ini lebih luas dari yang saya bayangkan. Langit pun sudah berubah warna dan menjadi gelap, adzan maghrib sudah berkumandang, dan saya pun gagal mencapai ujung pulau untuk menyaksikan sunset. Dengan sedikit kecewa saya pun kembali ke homestay, dan tampak beberapa wisatawan lain yang senasib dengan saya mencoba mengobati kekecewaannya dengan berfoto-foto di pinggir pantai.

Malam hari di Pulau Tidung kami habiskan hanya berdiam diri di dalam homestay. Sebetulnya saya ingin sekali pergi ke luar dan jalan-jalan menyaksikan suasana malam di Pulau Tidung, apalagi waktu itu sedang ada kenduri di salah satu rumah penduduk. Tapi karena teman-teman saya yang lain merasa kelelahan dan mengaku sedang mempersiapkan fisik untuk keesokan harinya, mereka pun enggan untuk ke luar homestay dan lebih memilih bermain kartu sampai larut malam. Saya merasa tidak nyaman untuk ke luar sendirian dan meninggalkan yang lainnya, dan saya pun bergabung untuk bermain kartu dengan setengah hati karena sebetulnya saya ingin berjalan-jalan melihat suasana malam di Pulau Tidung.

Lokasi homestay tempat kami menginap berada persis di samping sebuah masjid sehingga kami dapat mendengar jelas sekali setiap adzan berkumandang. Sehingga adzan pula lah yang membangunkan saya pagi itu karena suaranya nyaring sekali di tempat yang sesepi itu. Saya pun mencoba untuk shalat shubuh di mesjid itu, meskipun keseharians saya jarang sekali shalat shubuh di mesjid. Jamaah shalat shubuh di mesjid itu hampir semuanya berusia lanjut dan berperawakan layaknya nelayan kebanyakan, sungguh pemandangan yang jarang saya lihat di mesjid.

Selepas shalat shubuh saya memutuskan untuk kembali berjalan-jalan menyusuri pulau dan kali ini tanpa izin kepada yang lain karena saya tahu mereka tidak akan tertarik bergabung bersama saya. Mereka jadi begitu membosankan karena terlalu fokus untuk pulang. Sebetulnya saya cukup beradu argumen dengan salah satu dari mereka karena dia begitu ingin cepat pulang dengan segera sedangkan masih ingin menikmati Pulau Tidung di pagi hari, sehingga selepas shalat shubuh kebanyakan kami langsung packing sedangkan saya langsung berjalan-jalan.

Berdasarkan info dari tour guide kami, perjalanan kapal untuk kami pulang ke Muara Angke berangkat pada pukul tujuh dan delapan pagi. Terjadi perdebatan antara saya dengan beberapa teman saya mengenai jam berapa kita akan pulang, saya lebih memilih pulang jam delapan pagi karena ingin lebih santai sedangkan teman saya yang lainnya lebih memilih pulang jam tujuh pagi. Perdebatan sempat memanas, tapi dengan saya yang "melarikan diri" untuk jalan-jalan selepas shubuh, membuat kami semua tidak mungkin untuk pulang dengan menggunakan kapal jam tujuh pagi. Sebetulnya saya sempat meminta mereka untuk meninggalkan saya kalau memang ingin pulang jam tujuh pagi, tapi ternyata mereka mengalah.

Setelah jam tujuh lewat, kami pun berkemas dan bergegas menuju untuk mengejar kapal jam delapan pagi dengan menyematkan diri untuk singgah di rumah Pak Bustamil dalam rangka berpamitan dan yang paling menyelesaikan masalah keuangan. Tiba di dermaga tampak beberapa kapal bertambat dan kami pun lega karena mengira akan ada keberangkatan kapal tidak lama lagi. Tapi setelah berbincang-bincang dengan beberapa orang yang seang berada di dermaga, ternyata kapal tersebut baru akan berangkat pukul 13.00. Selain kami ada beberapa orang yang senasib dengan kami dan langsung merasa kecewa, tapi tentu yang paling kecewa adalah beberapa teman saya yang berencana untuk pulang lebih awal pukul 07.00 malah mendapatkan apa yang jauh dari harapan mereka yaitu telat 6 jam dari perkiraan mereka. Seebaliknya, saya sangat menikmati keterlambatan saya, karena saya memanfaatkannya untuk berjalan-jalan di sekitar dermaga, belanja jajanan tradisional Pulau Tidung, dan yang paling mengasyikkan yaitu saya membaca buku di pinggir pantai di bawah pohon kelapa, merupakan sebuah aktivitas yang sangat jarang dilakukan di pantai tapi ternyata sangat menyegarkan, bisa dibilang aktivitas tersebut menjadi salah satu aktivitas favorit saya ketika berada di Pulau Tidung, mungkin juga karena saya tidak mendapatkan teman perjalanan yang cocok selain buku saya itu.

Di dalam benak, saya sadar mereka pasti sangat kesal kepada saya, tapi apa boleh buat, saya sudah menawarkan kepada mereka untuk silakan pulang lebih awal daripada saya jika memang terburu-buru karena saya memang ingin masih menikmati Pulau Tidung di pagi hari, dan saya mengatakannya baik-baik tanpa ada maksud menyindir atau merasa tersinggung. Tapi mereka merasa tidak enak meninggalkan saya, sambil didalam hati mengeluh atas sikap saya ini. Tapi itulah kawan yang dinamakan konsekuensi, semua ada hubungan sebab akibat, setiap pilihan yang diambil pasti menimbulkan akibat tertentu. Termasuk dalam kasus kali ini, terkadang memaksakan untuk tetap bersama-sama dengan sekumpulan orang memang memuakkan dan kita kadang harus mengorbankan apa yang kita inginkan. Yes, sometimes loneliness makes it better!