Rabu, 26 Mei 2010

Sometimes, Loneliness Makes It Better


Tepat empat minggu sejak traveling saya terakhir saya ke Tanjung Lesung awal bulan April lalu, saya pun menikmati backpacking kembali di minggu ketiga bulan April, dan tujuan backpacking kali ini adalah Pulau Tidung di Kepulauan Seribu. Sedikit overdosis memang, karena seharusnya saya traveling di akhir bulan atau seminggu selanjutnya, tapi berhubung tekanan pekerjaan yang tinggi membuat saya dying akan traveling sekedar untuk berlibur dan melupakan sejenak kehidupan kantor meskipun saat itu bukan long weekend.

Setelah berwacana cukup lama dengan teman kuliah tentang traveling bersama, akhirnya kami pun sepakat untuk melakukannya kali ini ke Kepulauan Seribu. Anggota tim backpacking kali ini terdiri dari 7 orang, yang 2 orang diantaranya teman saya kuliah dulu, dan sisanya teman kantor salah satu teman saya. Ketujuh orang ini terdiri dari lima orang laki-laki seumuran dan sepasang boyfriend-girlfriend. Awalnya saya agak ragu apakah satu-satunya wanita ini mampu backpacking bersama saya, namun teman saya menjajikan bahwa wanita ini agak tomboy dan setelah kami traveling bersama, saya pun percaya bahwa dia memang tomboy, meskipun terkadang juga manja (seperti wanita pada umumnya) tapi khusus kepada sang kekasih.

Hari H pun tiba, kami memilih (depan) salah satu hotel sebagai meeting point karena beberapa diantara kami ada yang sedang mempunyai acara dan menginap di sana. Seperti biasa, acara berkumpul pun telat setengah jam (sangat Indonesia sekali bukan??) tapi kali ini saya tidak terlambat dan bahkan menjadi yang pertama. Setelah berkenalan satu sama lain, kami langsung bergegas ke Muara Angke dengan menggunakan dua taksi, dengan tarif yang cukup realistis yaitu Rp60 ribu.

Backpacking kali ini saya tidak melakukan riset yang dalam terlebih dahulu karena beberapa bulan yang lalu saya backpacking ke Kepulauan Seribu hanya saja ke Pulau Pramuka dan kali ini ke Pulau Tidung, jadi saya menganggap tidak memerlukan persiapan khusus karena kedua pulau tersebut bagi saya sama saja. Saya pun sudah mengenal trik-trik dalam bepergian ke Kep. Seribu. Persiapan traveling kali ini memang tidak serumit biasanya, cukup ditambah dengan obat anti mabuk untuk bisa beristirahat di dalam kapal kayu yang banyak memakan ‘korban’ mual-mual karena mabuk laut.

Akibat obat anti mabuk lah perjalanan kali ini pun terasa singkat, karena hampir sepanjang perjalanan saya tertidur padahal di dalam geladak kapal saya berada bersama beberapa wanita cantik, tapi nampaknya obat anti mabuk mengalahkan keinginan saya untuk bercengkerama dengan mereka. Kurang lebih tiga jam kemudian kami pun sampai di dermaga Pulau Tidung, sebuah tempat sederhana yang hanya terdapat beberapa kapal kecil saja yang bersandar di sana. Suasana dermaga pun ramai dengan para pemilik homestay atau para tour guide yang menjemput tamu-tamunya. Satu hal yang cukup menganggu saya di dermaga itu adalah cukup banyaknya sampah di perairan sekitar dermaga, sungguh sangat disayangkan padahal air di sana cukup jernih.

Setibanya di sana, kami pun langsung menghubungi sang pemilik homestay, Pak Bustamil dan saya ditunjuk untuk melakukan koordinasi dengannya sekaligus menyampaikan aspirasi dari teman-teman yang lain kepada sang pemilik hotel. Setelah sedikit berbasa-basi saya pun langsung mengalihkan topik pembicaraan ke arah yang ‘agak sensitif’ yaitu masalah harga. Sebetulnya saya agak pesimistis untuk bisa menawar harga disana karena saya tahu bahwa di sana memang ada semacam organisasi atau kartel yang memang bersepakat untuk memasang tarif pada nilai tertentu. Tapi dengan sedikit pengelaman saya punya dalam tawar menawar harga, ternyata saya mampu menurunkan harga sebesar Rp50ribu. Penginapan yang kami dapat adalah Pondok Salsabila, cukup nyaman dengan 1 kamar tidur, kamar mandi, dan dapur dengan ruang tengah di bagian depannya. Harganya cukup murah yaitu Rp250 ribu/hari. Pak Bustamil, ternyata bukan sebagai pemilik pondok, dia hanya mengkoordinasikan asset-aset milik penduduk untuk disewakan kepada wisatawan. Jadilah kita bertansaksi dengan Pak Bustamil tidak hanya untuk penginapan, tapi juga untuk sewa perahu, alat snorkeling, termasuk makan dan kelapa muda. Total biaya yang kita habiskan selama di sana sebesar Rp1.055.000, tidak terlalu mahal memang karena kita bertujuh.

Lokasi pondok tersebut memang agak jauh dari dermaga, dan kurang strategis jika kita ingin keliling pulau. Selepas makan siang, kami langsung pergi berlayar. Ternyata meskipun cuaca cukup cerah, hari itu ombak bergelombang cukup tinggi tapi kami masih bisa meminta sang empunya kapal untuk membawa kami ke spot snorkeling yang agak jauh. Rencananya kami akan snorkeling di tiga tempat berbeda, tapi karena ombak yang kurang mendukung membuat kami hanya pergi ke dua tempat dan itu pun salah satunya hanya di tepi pantai ujung pulau Tidung.

Jujur saja, snorkling membuat saya addicted dan saya selalu merasa takjub setiap kali snorkling, tak peduli baik karang dan mahluk laut lainnya yang saya lihat itu bagus atau tidak. Snorkling kali ini menurut saya tidak seindah ketika saya snorkling di Pulau Pramuka lalu. Mungkin disamping itu snorkling pertama saya, atau bisa juga karena karang di Pulau Tidung tidak seindah karang di sekitar pulau Pramuka. Karang di sekitar pulau Tidung tidak berwarna-warni dan saya melihat banyak pecahan-pecahan karang yang sudah mati, terkadang pemandangan bawah laut seperti itu agak creepy bagi saya apalagi di spot-spot yang tidak ada ikannya. Tapi di beberapa spot lainnya meskipun banyak terdapat pecahan karang mati, masih terdapat banyak ikan yang berwarna-warni nan menawan. Menurut saya ikan-ikan yang saya lihat di perairan Pulau Tidung lebih indah daripada ikan-ikan yang saya lihat di perairan pulau Pramuka, hanya saja ombak waktu itu di Pulau Tidung membuat sulit bagi kami untuk melakukan snorkling dengan tenang.

Ombak laut waktu itu memang cukup menyeramkan, awalnya kami menikmatinya tapi lama kelamaan suasana menjadi cukup menyeramkan, terutama ketika dua orang tour guide di kapal yang juga merupakan penduduk setempat. Entah disengaja atau tidak, kurang bersahabatnya ombak pada waktu itu "dimanfaatkan" oleh tour guide kami sebagai alasan untuk tidak membawa kami ke beberapa spot yang agak jauh. Jujur saya sebetulnya saya agak kecewa gelombang laut yang tinggi dijadikan alasan untuk tidak mengunjungi beberapa spot di perairan sekitar Pulau Tidung, dan kami pun gagal mengunjungi ujung barat Pulau Tidung karena sang tour guide sudah ketakutan untuk berlayar dengan ombak yang tinggi. Dengan sedikit kecewa kami pun pulang ke homestay, tetapi saya tidak kehilangan semangat untuk memburu sunset di Pulau Tidung dengan berjalan kaki menuju ujung pulau untuk menyaksikan sunset.

Perjalanan dari homestay menurut saya cukup dekat, sehingga saya memutuskan untuk berjalan kaki sambil menyusur pantai. Di perjalanan, langit sudah semakin gelap dan saya pun mempercepat langkah kaki menuju ujung pulau. Tampak beberapa turis lain juga berjalan ke arah yang sama seperti kami. Tanpa terasa kami saya sudah berjalan cukup jauh tapi ujung pulau belum juga tampak, ternyata pulau ini lebih luas dari yang saya bayangkan. Langit pun sudah berubah warna dan menjadi gelap, adzan maghrib sudah berkumandang, dan saya pun gagal mencapai ujung pulau untuk menyaksikan sunset. Dengan sedikit kecewa saya pun kembali ke homestay, dan tampak beberapa wisatawan lain yang senasib dengan saya mencoba mengobati kekecewaannya dengan berfoto-foto di pinggir pantai.

Malam hari di Pulau Tidung kami habiskan hanya berdiam diri di dalam homestay. Sebetulnya saya ingin sekali pergi ke luar dan jalan-jalan menyaksikan suasana malam di Pulau Tidung, apalagi waktu itu sedang ada kenduri di salah satu rumah penduduk. Tapi karena teman-teman saya yang lain merasa kelelahan dan mengaku sedang mempersiapkan fisik untuk keesokan harinya, mereka pun enggan untuk ke luar homestay dan lebih memilih bermain kartu sampai larut malam. Saya merasa tidak nyaman untuk ke luar sendirian dan meninggalkan yang lainnya, dan saya pun bergabung untuk bermain kartu dengan setengah hati karena sebetulnya saya ingin berjalan-jalan melihat suasana malam di Pulau Tidung.

Lokasi homestay tempat kami menginap berada persis di samping sebuah masjid sehingga kami dapat mendengar jelas sekali setiap adzan berkumandang. Sehingga adzan pula lah yang membangunkan saya pagi itu karena suaranya nyaring sekali di tempat yang sesepi itu. Saya pun mencoba untuk shalat shubuh di mesjid itu, meskipun keseharians saya jarang sekali shalat shubuh di mesjid. Jamaah shalat shubuh di mesjid itu hampir semuanya berusia lanjut dan berperawakan layaknya nelayan kebanyakan, sungguh pemandangan yang jarang saya lihat di mesjid.

Selepas shalat shubuh saya memutuskan untuk kembali berjalan-jalan menyusuri pulau dan kali ini tanpa izin kepada yang lain karena saya tahu mereka tidak akan tertarik bergabung bersama saya. Mereka jadi begitu membosankan karena terlalu fokus untuk pulang. Sebetulnya saya cukup beradu argumen dengan salah satu dari mereka karena dia begitu ingin cepat pulang dengan segera sedangkan masih ingin menikmati Pulau Tidung di pagi hari, sehingga selepas shalat shubuh kebanyakan kami langsung packing sedangkan saya langsung berjalan-jalan.

Berdasarkan info dari tour guide kami, perjalanan kapal untuk kami pulang ke Muara Angke berangkat pada pukul tujuh dan delapan pagi. Terjadi perdebatan antara saya dengan beberapa teman saya mengenai jam berapa kita akan pulang, saya lebih memilih pulang jam delapan pagi karena ingin lebih santai sedangkan teman saya yang lainnya lebih memilih pulang jam tujuh pagi. Perdebatan sempat memanas, tapi dengan saya yang "melarikan diri" untuk jalan-jalan selepas shubuh, membuat kami semua tidak mungkin untuk pulang dengan menggunakan kapal jam tujuh pagi. Sebetulnya saya sempat meminta mereka untuk meninggalkan saya kalau memang ingin pulang jam tujuh pagi, tapi ternyata mereka mengalah.

Setelah jam tujuh lewat, kami pun berkemas dan bergegas menuju untuk mengejar kapal jam delapan pagi dengan menyematkan diri untuk singgah di rumah Pak Bustamil dalam rangka berpamitan dan yang paling menyelesaikan masalah keuangan. Tiba di dermaga tampak beberapa kapal bertambat dan kami pun lega karena mengira akan ada keberangkatan kapal tidak lama lagi. Tapi setelah berbincang-bincang dengan beberapa orang yang seang berada di dermaga, ternyata kapal tersebut baru akan berangkat pukul 13.00. Selain kami ada beberapa orang yang senasib dengan kami dan langsung merasa kecewa, tapi tentu yang paling kecewa adalah beberapa teman saya yang berencana untuk pulang lebih awal pukul 07.00 malah mendapatkan apa yang jauh dari harapan mereka yaitu telat 6 jam dari perkiraan mereka. Seebaliknya, saya sangat menikmati keterlambatan saya, karena saya memanfaatkannya untuk berjalan-jalan di sekitar dermaga, belanja jajanan tradisional Pulau Tidung, dan yang paling mengasyikkan yaitu saya membaca buku di pinggir pantai di bawah pohon kelapa, merupakan sebuah aktivitas yang sangat jarang dilakukan di pantai tapi ternyata sangat menyegarkan, bisa dibilang aktivitas tersebut menjadi salah satu aktivitas favorit saya ketika berada di Pulau Tidung, mungkin juga karena saya tidak mendapatkan teman perjalanan yang cocok selain buku saya itu.

Di dalam benak, saya sadar mereka pasti sangat kesal kepada saya, tapi apa boleh buat, saya sudah menawarkan kepada mereka untuk silakan pulang lebih awal daripada saya jika memang terburu-buru karena saya memang ingin masih menikmati Pulau Tidung di pagi hari, dan saya mengatakannya baik-baik tanpa ada maksud menyindir atau merasa tersinggung. Tapi mereka merasa tidak enak meninggalkan saya, sambil didalam hati mengeluh atas sikap saya ini. Tapi itulah kawan yang dinamakan konsekuensi, semua ada hubungan sebab akibat, setiap pilihan yang diambil pasti menimbulkan akibat tertentu. Termasuk dalam kasus kali ini, terkadang memaksakan untuk tetap bersama-sama dengan sekumpulan orang memang memuakkan dan kita kadang harus mengorbankan apa yang kita inginkan. Yes, sometimes loneliness makes it better!

Minggu, 02 Mei 2010

A Sudden Trip

Plan B (B as in backpacking)
Setelah hampir lebih dari 4 minggu, saya baru mempunyai keinginan untuk menuliskan tentang cerita perjalanan saya kali ini. Selain karena beban pekerjaan yang cukup menyita waktu akhir ini, perjalanan yang kurang seru kali ini memang membuat saya malas untuk menuliskannya. Tapi seperti kata pepatah bilang, selalu ada hikmah di setiap kejadian, meskipun kejadian tersebut tidak menarik sama sekali.
Sejak perjalanan terakhir saya akhir di bulan Februari lalu, saya bertekad untuk traveling (atau backapacking lebih tepatnya) paling tidak sebulan sekali. Dan akhirnya setelah menyusun beberapa jadwal kegiatan, saya merencanakan untuk traveling di weekend pertama bulan April karena beberapa hari sebelumnya saya bertugas ke luar kota, sehingga saya harap bisa mendapatkan kembali satu minggu penuh yang dengan perjalanan yang seru, baik untuk tujuan pekerjaan maupun untuk tujuan leisure.
Singkat kata tanggal yang diananti pun tiba, di awal pekan saya berangkat ke Jambi untuk dinas luar kota yang direncanakan sampai hari Kamis, yang akan saya lanjutkan dengan traveling ke Karimun Jawa.
Ketika saya di Jambi, tidak ada kegiatan menarik selain bekerja (saya bercanda tentunya) dan setelah berbincang-bincang dengan beberapa penduduk setempat, mereka memang mengaku bahwa tidak ada tempat yang menarik di Jambi, bahkan salah seorang yang pegawai setempat yang memandu saya disana berkata: ”di sini tidak ada tempat wisata alam, yang ada hanya tempat wisata bapak-bapak, mau???” (tentu saja saya menolaknya-saat itu). Saya agak terkejut karena saya kira Jambi merupakan kota yang religius. Mendapatkan kesan yang kurang bagus di hari pertama, saya pun tidak berharap terlalu lama di sana dan ingin cepat-cepat menghabiskan waktu di travel destination saya kali ini: Karimun Jawa.
Hari kedua di Jambi terasa sangat monoton, tidak ada yang spesial dan hanya aktivitas standar seperti perjalanan dinas luar kota lainnya. Tapi di sore hari saya sangat terkejut karena sang travel agent membatalkan trip ke Karimun Jawa. Bayangan untuk bisa menikmati akhir pekan di Karimun Jawa bersama orang-orang yang baru saya kenal pun harus saya lupakan ketika itu. Saya pun agak kebingungan karena sang travel agent membatalkan trip hanya 3 hari sebelum hari H. Saya pun (berusaha) menikmati situasi kota Jambi dengan mengunjungi kawasan Ancol (bukan Ancol Jakarta tentunya). Kawasan Ancol sebetulnya tidak terlalu istimewa karena hanya merupakan kawasan yang terdiri dari beberapa penjual makanan, seperti sebuah pujasera hanya saja ini berada di kawasan pinggir Sungai Batanghari. Saya menguinjunginya di pagi hari karena supaya tidak terlalu ramai dan supaya bisa melihat dengan jelas Sungai Batanghari yang melegenda tersebut.
Ketika saya melamun sambil memandang sungai tersebut, saya pun mendapatkan ilham tentang tujuan traveling akhir pekan itu. Saya teringat beberapa teman semasa kuliah dulu yang pernah berwacana untuk pergi bersama ke suatu tampat di Banten yang bernama Tanjung Lesung. Sepulang dari Sungai Batanghari, saya langsung menuju hotel untuk menjelajahi dunia maya dan mencari info sebanyak-banyaknya tentang bagaimana menuju Tanjung Lesung. Setelah mendapatkan cukup info, saya pun semakin yakin untuk berangkat ke Tanjung Lesung. Hal berikutnya yang saya pikirkan adalah teman perjalanan. Saya pun hanya menghubungi dua-tiga teman lama tentang perjalanan kali ini, tapi karena waktunya sudah telalu dekat, mereka sudah mempunyai janji masing-masing. The show must go on, saya pun memutuskan untuk pergi ke Tanjung Lesung sendirian.
Outlaw Backpackers
Setelah selesai dinas luar kota di Jambi, saya pun kembali ke Jakarta dan mengunjungi kantor terlabih dahulu untuk mengantarkan oleh-oleh kepada teman-teman di kantor. Ternyata teman-teman di kantor juga sedang merencanakan traveling. Mereka berencana backpacking ke Ujung Genteng, sehingga begitu saya tiba di kantor mereka langsung berkonsultasi tentang bagaimana backpacking ke Ujung Genteng karena memang sebulan sebelumnya saya backpacking ke sana. Setelah mendengarkan penjelasan saya, mereka pun menjadi ragu karena merasa terlalu berat. Saya pun menawarkan alternative lain untuk bergabung bersama saya ke Tanjung Lesung, dan tanpa terlalu banyak bertanya kedua orang teman saya tersebut menyetujuinya karena mereka percaya saya sudah cukup berpengalaman untuk backpacking.
Kami memutuskan Halteu Busway Gambir sebagai meeting point di Jumat pagi itu, dan tidak seperti biasanya saya waktu datang agak telat (mungkin sulit untuk dipercaya bahwa saya tidak pernah telat - khusus untuk urusan traveling for leisure tentunya). Saya memperkirakan ada 4 orang peserta backpacking pada waktu itu, saya bersama dua orang teman kantor saya, ditambah satu orang adiknya teman saya itu. Tapi ternyata ada dua orang lainnya, yaitu pacar salah satu teman saya dan saudara perempuannya. Sehingga total peserta backpacking pada waktu itu ada 6 orang, 4 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Dari segi penampilan, mereka tidak mencerminkan kesiapan untuk backpacking karena mereka hanya membawa tas kecil yang hanya cukup untuk membawa beberapa helai pakaian saja dan menenteng kantong plastik untuk membawa bekal makanan, agak kurang “backpack-like” apalagi dengan menggunakan sandal yang tipis, mencirikan bahwa mereka tidak ingin terlalu banyak jalan kaki. Sejujurnya saya kurang nyaman untuk backpacking bersama perempuan yang saya kenal, karena saya belum tahu apakah dia bisa bertahan dengan segala ‘penderitaan’ backpacking, dan saya tentu tidak bisa complain jika mereka ‘menghambat’ perilaku-perilaku wajib dalam backpacking.
Dari halteu Gambir, kami pun menuju terminal Kalideres dengan saya yang terus membawa sekantung plastik berisi martabak karena saya telat dan tidak sempat sarapan. Tapi sesampainya di terminal Kalideres hamper semuanya kecuali saya, meminta untuk beristirahat di warung nasi untuk membeli sarapan. Dari situ saya bisa menyimpulkan bahwa mereka bukanlah tipe backpacker, yang selalu efisien waktu perjalanannya. Kemudian kami pun menaiki bus ekonomi “Mirah” menuju terminal Labuhan. Ongkos perjalanan menuju Labuan, Banten memang tergolong “mirah” (translate dari bahasa Sunda yang artinya murah) yang hanya sebesar Rp23ribu, mungkin karena kelas ekonomi. Situasi perjalanan di dalam bus sangat tidak nyaman karena sang kernet memanfaatkan liburana panjang tersebut untuk memasukkan penumpang sebanyak-banyaknya ke dalam bus, sampai penumpang yang berdiri pun diatur cara berdirinya dengan harapan tidak ada celah kosong lagi di dalam bus, begitulah pikiran sang kernet.
Perjalanan dari terminal Kalideres sampai ke terminal Labuan memakan waktu kurang dari 4 jam dengan cara menyetir sang sopir yang cukup ugal-ugalan. Kami pun beristirahat sejenak di terminal Labuhan untuk makan siang dan sholat Jumat. Setelah itu berarti tinggal satu rute lagi yang kami harus lalui yaitu Labuan – Tanjung Lesung. Ada beberapa cara untuk menempuh rute tersebut, dan saya memutuskan untuk mencarter angkot. Mulanya kegiatan carter-mencarter angkot karena sang sopir angkot hanya meminta tarif Rp50 ribu, di tengah perjalanan sang sopir (pura-pura) baru menyadari bahwa jumlah penumpangnya 6 orang jadi dia meminta Rp60 ribu. Sesampainya di pintu gerbang Tanjung Lesung, sang sopir meminta tambahan ongkos untuk masuk ke kawasan Tanjung Lesung, dan saya pun berpura-pura untuk turun dari angkot dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki tapi teman-teman yang lain tidak mau bejalan kaki karena termakan ucapan sang sopir yang mengatakan bahwa penginapan terdekat masih jauh. Melihat teman-teman saya yang enggan berjalan kaki, sang sopir pun menaikkan tarifnya dengan signifikan menjadi Rp100ribu dan anehnya lagi teman-teman saya langusng mengiyakannya tanpa tawar menawar dahulu (sangat tidak backpacker sekali bukan?), saya pun kalah suara dan mengikuti teman-teman yang lain. Akhirnya kami pun tiba di salah satu penginapan yang tidak terlalu jauh dari pintu gerbang, salah satu teman pun akhirnya cukup menyesal karena ternyata jaraknya tidak jauh. Penginapan tersebut bernama Sailing Club, cukup nyaman dan sepertinya target market mereka para ekspatriat yang siap menghabiskan banyak uang. Saya pun memberanikan diri bertanya ke receptionist, dan saya hanya mendapatkan jawaban bahwa seluruh cottage sudah penuh terisi.
Akhirnya perjalanan dengan berjalan kaki pun tak terhindarkan dan kami pun baru tersadar untuk melakukan salah satu prosedur wajib di masa kini yaitu googling. Sambil berjalan kaki, kami pun membuka internet lewat handphone untuk mencari tahu tentang penginapan di sekitar Tanjung Lesung. Kami pun tiba di Blue Fish Hotel yang dari kejauhan lebih mirip sebuah rumah peristirahatan. Karena itulah kami pun memberikan diri ke sana karena meskipun bertitle hotel, tapi bangunannya tidak terlalu mewah sehingga kami harap harganya masih terjangkau. Memasuki hotel tersebut, hanya ada 2 orang yang lebih mirip penjaga rumah daripada seorang receptionist. Setelah berbasa-basi, saya pun langsung menanyakan rate kamar dan ternyata harganya sangat mahal: Rp800 ribu/kamar tentu kami membuat cukup kaget, tapi setelah berbincang-bincang lebih lanjut dengan receptionist tersebut ternyata semua hotel dan penginapan di Tanjung Lesung memang melakukan semacam kartel untuk menjaga harga diantara satu penginapan dengan yang lainnya dan dibanding dengan penginapan yang lain, rate Rp800 ribu/malam merupakan harga termurah. Dan saya pun melakukan negosiasi sekuat tenaga dengan hasil akhir bisa menginap untuk kami dengan biaya net per orang sebesar Rp300 ribu, memang masih lebih mahal daripada menginap di hotel berbintang di Jakarta tapi memang tidak ada pilihan lain, karena letak penginapan yang lain sangat jauh dan cuaca pada saat itu memang kurang bersahabat. Sebetulnya teman-teman saya yang lain keberatan dengan biaya sebesar itu, dan setelah berdebat cukupo panjang akhirnya mereka pun setuju. Cukup ironis memang, karena mereka di awal sangat tidak “backapacking” dengan memilih mengeluarkan uang lebih daripada berjalan kaki, tapi untuk masalah penginapan mereka menginginkan kelas “backpacking”, sebuah inkonsistensi yang cukup mengganggu saya tentunya.
Backpacking at the Hotel??
Blue Fish Hotel memang bagus karena bangunannya baru dan tidak terlalu ramai, sehingga saya cukup mennikmati menginap di sana apalagi kalau di sana ada TV. Tapi untuk apa jauh-jauh ke Tanjung Lesung kalau hanya sekedar betah di kamar. Sore hari pun tiba, saya memutuskan untuk berjalan kaki sendirian menyusuri pantai, kebiasaan saya setiap mengunjungi pantai yang baru saya datangi. Mungkin mereka menganggap saya aneh, tapi itulah saya, selalu ingin berkontemplasi sambil berolahraga jalan kaki dan menikmati angin laut di sepanjang pantai.
Kondisi pantai yang saya lalui sepanjang kurang lebih 1 km tersebut memang cukup sepi dan tampak belum terjamah. Sepanjang perjalan saya hanya berpapasan dengan beberapa nelayan yang sedang memancing ikan dan sekelompok wisatawan asing. Saya juga berpapasan 3 orang asing yang memisahkan dari kelompoknya cukup jauh, banyak prasangka buruk muncul di benak saya karena mereka cukup kaget ketika melihat saya dan hanya bisa tersenyum, tapi saya tidak terlalu menghiraukannya karena memang saya hanya ingin berjalan kaki menyusuri pantai.
Malam pun tiba, dan untuk makan malam saya tidak punya pilihan lain selain makan malam di hotel. Setelah melihat daftar menu, saya memilih nasi goreng seafood karena harganya paling murah untuk ukuran makanan yang membuat kenyang. Setelah menunggu cukup lama, nasi goreng yang saya pesan pun akhirnya datang juga dan ternyata hanya berupa nasi goreng biasa dengan dua iris timun dan tomat, tanpa telur apalagi seafood. Sangat mengecawakan tapi saya harus memakannya daripada kelaparan.
Menghabiskan malam di pinggir pantai dekat hotel sangatlah datar, beberapa diantara kami mencoba memancing, tapi tidak ada yang menghsilkan satu pun. Seperti biasa, saya pun hanya memilih untuk duduk dan melamunkan banyak hal sambil menikmati angin laut. Di tengah lamunan saya, agak kaget ketika melihat sesosok mahluk mirip campuran antara monyet, kucing, dan musang. Penduduk sekitar menyebutnya “Mukageni” mahluk karnivora seukuran kucing tapi tidak menyerang manusia bahkan sangat jinak, tapi penduduk sekitar percaya beberapa cerita mistis tentang mahluk ini sehingga tidak berani memeliharanya.
Keesokan harinya, saya sengaja bangun paling pagi untuk menyaksikan sunrise, apalagi hotel tempat kami menginap mempunyai pantai yang menghadap ke timur, sehingga memang palin cocok untuk melihat sunrise. Tapi ternyata lagi-lagi cuaca kurang bersahabat dan menyebabkan pemandangan sunrise terhalangi. Kekecewaan itu lumayan agak terobati karena dalam rangka promo hotel, kita mendapatkan voucher watersport di Beach Club, plus transportasi mobil hotel untuk kami gunakan (hasil negosiasi tentunya).
Di Beach Club kami diberi voucher untuk melakukan salah satu watersport selama 30 menit dan tentunya saya memilih snorkling, favorit saya. Tapi cuaca hari itu memang kuran bersahabat, dan membuat ombak cukup besar sehingga air laut menjadi keruh dan susah untuk digunakan snorkling. Saya pun menunggu beberapa jam dengan berharap cuaca akan membaik, sambil memandang anak Gunung Krakatau dari kejauhan. Setelah dua jam menunggu, ternyata cuaca tak kunjung membaik dan denga berat hati saya pun harus memilih watersport lainnya. Saya pun memilih kayaking (tanpa “kong” tentunya) karena memang itu watersport yang paling menantang dan gratis. Setengah jam kayaking ternyata cukup membuat lelah karena saya ber-solo kayaking, ditambah dengan dayung yang kurang ergonomis membuat saya kelelahan, tidak seperti yang saya kira sebelumnya.
Tanpa terasa setengah jam kayaking pun harus sudah selesai, om-om penjaga di tepi pantai meniup peluit dan melambaikan benderanya, pertanda saya harus kembali, atau mengembalikan kayak lebih tepatnya. Sehabis kayaking saya menyempatkan berenang sebentar, mumpung masih menggunakan pelampung. Setelah bosan berenang saya pun mandi dan mencari mobil hotel yang akan mengantarkan kami ke desa terdekat untuk menuju ATM terdekat dan pulang. FYI, kami berenam menginap di Blue Fish Hotel hanya membayar down payment sebesar Rp300 ribu, sisanya Rp1,5 juta kami bayar setelah check out karena kami memang tidak membawa cash sebanyak itu. Mungkin karena ini pihak hotel rela mengantar kami ke mana-mana termasuk ke desa terdekat, karena jika kami tidak diantar, mereka ketakutan kalau kami kabur tanpa membayar sisanya.
Sampai di Desa terdekat, kami menyempatkan untuk sholat dan makan siang. Makan siang di sana kurang nikmat karena ikan bakar yang kami makan ternyata ikan yang dibakar 2 jam sebelumnya, tapi lagi-lagi karena lapar, kami pun memakannya dengan lahap. Setelah makan siang, kami pun meneruskan perjalanan menuju terminal Labuan. Ada dua cara untuk mencapai terminat tersebut, bisa menggunakan angkot atau menggunakan bus Damri yang menuju Serang. Di luar rencana, teman saya mengajak kami menaiki bus Damri, dengan agak kaget saya pun menurutinya. Di dalam bus, teman saya melakukan sesuatu yang agak melanggar kaidah backapacking yaitu terlalu banyak tanya sehingga mengundang perhatian banyak orang termasuk orang yang belum tentu memiliki niat baik. Memang malu bertanya sesat di jalan, tapi terlalu banyak bertanya apalagi kepada orang-orang yang tidak tepat bisa membuat kita lebih tersesat di jalan. Sikap teman saya itu memang mengundang banyak orang untuk memberikan saran yang saya sendiri kurang yakin kebenarannya, apalagi saya merasa sudah mendapatkan informasi yang cukup dari dunia maya. Hal ini membuat saya agak berdebat dengan beberapa orang di dalam bus. Akhirnya bus melewati terminal Labuan, saya memutuskan untuk turun dan melanjutkan perjalanan dengan bus yang sama saat kami berangkat dari Jakarta hari sebelumnya. Bus yang kami naiki ini cukup kosong, sehingga mudah untuk mencari posisi yang diinginkan apalagi untuk tidur. Sepanjang perjalanan, saya hanya tidur karena memang merasakan kantuk yang sangat sejak selesai kayaking. Perjalanan menuju Jakarta pun tidak terasa karena hampir sepanjang perjalanan saya tertidur. Sesampainya di Terminal Kalideres, kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan TransJakarta, sama seperti hari keberangkatan.
Conclusion
Seperti kata pepatah mengatakan: “Man propose, God dispose”, untuk itulah Tuhan menciptakan Plan B, sekarang tergantung kita membuat merancang Plan B tersebut lebih baik daripada Plan A. Jadi teringat kata-kata Aa Gym: “nasi telah menjadi bubur, tinggal bagaimana kita meraciknya menjadi bubur ayam spesial. Nampaknya saya telah gagal meracik plan B dengan baik, karena jujur saja saya kurang menikmati backpacking kali ini, tapi di sinilah hikmahnya bagi saya untuk membuat perencanaan yang lebih baik lagi untuk acara backpacking yang lebih seru lagi.