Dua puluh sekian tahun saya hidup dan lima tahun lebih menjadi anak kos, baru sekarang ibu saya menelepon dan meminta saya pulang. Ada firasat yang tidak enak ketika Ibu saya meminta seperti itu, karena ini jarang sekali terjadi sehingga saya pun langsung mengiyakannya. Motivasi ini juga lah yang membuat saya pulang dari kantor dan mendapatkan potongan gaji . Inilah potongan sebesar 1,5% pertama sepanjang karier saya, tapi saya tidak terlalu keberatan, demi memenuhi permintaan sang ibu.
Banyak sekali pilihan moda transportasi bagi saya untuk pulang kampung ke Bandung, mulai dari yang termurah hingga yang termahal, mulai dari yang ternyaman, sampai yang paling inferior. Di antara semua moda yang ada, akhirnya saya memutuskan untuk menggunakan kereta api. Meskipun beberapa orang berpendapat bahwa menggunakan kereta api ke Bandung cukup wasting time, dan harganya tidak jauh beda dengan jika menggunakan travel via Cipularang. Tapi alasan tersebut tidak membuat saya mengurungkan niat untuk menggunakan kereta api ke Bandung, dengan harapan bisa sambil melihat pemandangan indah, mendapatkan inspirasi baru, dan yang terpenting bisa sambil membaca buku karena saya sering merasa pusing ketika membaca di dalam mobil, tapi tidak merasakannya jika saya di dalam kereta api.
Buku yang akan saya baca di dalam kereta api adalah sebuah buku setebal lebih dari 500 halaman dan berbahasa inggris. Cukup sulit bagi saya untuk mencerna buku tersebut, sehingga setelah lebih dari tiga minggu meminjamnya saya hanya mampu membaca 100 halaman, tanpa mengerti betul apa message yang coba disampaikan penulis di 100 halaman tersebut. Buku tersebut berjudul Hot, Flat, and Crowded, karangan Thomas L. Friedman. Jujur saja, saya tertarik membaca buku tersebut bukan karena saya merupakan pemerhati isu-isu lingkungan, tapi lebih karena saya ingin belajar membaca buku setebal 500 halaman ditulis dalam bahasa inggris, it's quite cheesy right?? Tapi setelah setelah membaca sebagian buku tersebut, awareness saya mengenai kondisi bumi ini. Hal inilah yang membuat saya begitu menikmati perjalanan satu jam pertama di dalam kereta api.
Ada beberapa potongan paragraf dalam buku tersebut yang cukup catchy, seperti kalimat yang menunjukkan sudah begitu parahnya kondisi bumi kita ini yang coba ditunjukkan penulis dengan ungkapan: "Everytime you look in a mirror, you are seeing an endangered species". Ungkapan itu cukup menohok buat saya, karena selama ini kita hanya bisa berbangga dengan keadaan kita sekarang dari apa yang kita lihat di cermin, tanpa memikirkan apa yang akan terjadi di kemudian hari. Hal lain yang menarik dari bacaan saya tersebut adalah adanya suatu pendapat yang mengatakan bahwa fenomena yang sekarang kita hadapi bukan GLOBAL WARMING, tapi lebih kepada GLOBAL WEIRDING. Karena menurut beliau, global warming dianggap terlalu halus atau terlalu ramah untuk menggambarkan parahanya kondisi saat ini. Global weirding dianggap lebih tepat, karena segala sesuatunya menjadi begitu aneh ketika berkaitan dengan urusan alam dan lingkungan. Salah satu bentuk keanehan tersebut adalah adanya salah satu gubernur di AS yang menghimbau warganya untuk melakukan hal-hal mistik agar hujan turun. Cukup ironis, di millenium ketiga ini, salah satu pejabat di negara adikuasa seperti AS, masih percaya hal-hal klenik seperti itu. Masih banyak keanehan-keanehan yang ditulis di buku itu yang menunjukkan semakin memburuknya alam ini. Di Indonesia, fenomena paling sederhana yang bisa kita tangkap dari memburuknya alam ini adalah bahwa kebanyakan orang Indonesia musim hujan itu terjadi di bulan yang berakhiran -ber, tapi sekarang kita masih bisa merasakan hujan deras di bulan Maret, cukup dangkal memang pendapat tersebut tapi menurut saya hal tersebut cukup menggambarkan memburuknya alam ini.
Satu jam sudah saya membaca buku itu di dalam kereta, dan ini membuat mata saya lelah dan segera mengalihkan perhatian ke luar melalui jendela di samping saya. Inilah salah satu alas an kenapasaya lebih memilih menggunakan kereta api, sebuah pemandangan khas yaitu persawahan dan segala pernak-pernik kehidupan desa, and here you can see toddlers waving to the train. Tapi semuanya tidak seperti yang saya harapkan. Sawah-sawah Nampak tidak seramai dahulu, tidak ada kumpulan ibu-ibu yang menanam padi atau petani dengan kerbaunya. Apakah sang kerbau sekarang lebih tertarik untuk mengikuti demonstrasi di Bundaran HI?? Tentu tidak, ini semua karena petani lebih memilih menggunakan traktor, yang asapnya membuat udara sekitar tidak secerah dulu. Pemandangan ini membuat saya larut membayangkan apa yang saya baca di buku Hot, Flat, and Crowded, betapa segala sesuatunya jika tidak dikaji dengan matang, bisa menimbulkan efek samping yang buruk. Ambil contoh penggunaan traktor tersebut, dan masih banyak contoh lain yang umat manusia sering salah dalam menangani persoalan, karena selalu berusaha menyelesaikan masalah dengan satu masalah baru. Kesalahan tersebut bisa jadi bukan tanpa sengaja. Satu hal yang melintas di pikiran saya waktu itu adalah beranikah pemerintah kita menaikkan berkali-kali lipat pajak kendaraan bermotor sehingga banyak orang tidak dengan mudah mendapatkannya seperti sekarang ini yang setiap orang bisa membawa pulang sepeda motor tanpa uang muka cicilan. Inilah yang membuat jalanan ibukota begitu hectic karena padatnya jalanan oleh kendaraan bermotor. Kembali lagi ke lamunan saya, andai saja hasil dari peningkatan pajak kendaraan bermotor tersebut digunakan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan perkeretaapian kita sehingga orang-orang mulai beralih dari kendaraan pribadi yang pajaknya semakin tinggi ke kendaraan transportasi massal seperti kereta api yangberkualitas dari segi infrastruktur, manajemen, maupun pelayanannya. Dengan begini, PT KA (PT Kereta Api) tidak lagi dicemooh masyarakat sebagai PT Kumaha Aing (terserah gua, -red) yang kereta apinya seenaknya datang dan berangkat tanpa sesuai jadwal atau seenaknya menaikkan tarif tanpa ada sebab yang jelas. Tapi sepertinya menaikkan pajak kendaraan bermotor itu sulit terjadi karena tingginya bargaining power para kapitalis perusahaan otomotif terhadap orang berkuasa di negeri ini. Memikirkan carut marutnya membuat kepala saya pening, dan ingin segera kembali mengalihkan perhatian ke pemandangan di luar jendela kereta.
And I fell asleep as I listened to this song:
"Awan" (written & performanced by Pure Saturday)
Banyak sekali pilihan moda transportasi bagi saya untuk pulang kampung ke Bandung, mulai dari yang termurah hingga yang termahal, mulai dari yang ternyaman, sampai yang paling inferior. Di antara semua moda yang ada, akhirnya saya memutuskan untuk menggunakan kereta api. Meskipun beberapa orang berpendapat bahwa menggunakan kereta api ke Bandung cukup wasting time, dan harganya tidak jauh beda dengan jika menggunakan travel via Cipularang. Tapi alasan tersebut tidak membuat saya mengurungkan niat untuk menggunakan kereta api ke Bandung, dengan harapan bisa sambil melihat pemandangan indah, mendapatkan inspirasi baru, dan yang terpenting bisa sambil membaca buku karena saya sering merasa pusing ketika membaca di dalam mobil, tapi tidak merasakannya jika saya di dalam kereta api.
Buku yang akan saya baca di dalam kereta api adalah sebuah buku setebal lebih dari 500 halaman dan berbahasa inggris. Cukup sulit bagi saya untuk mencerna buku tersebut, sehingga setelah lebih dari tiga minggu meminjamnya saya hanya mampu membaca 100 halaman, tanpa mengerti betul apa message yang coba disampaikan penulis di 100 halaman tersebut. Buku tersebut berjudul Hot, Flat, and Crowded, karangan Thomas L. Friedman. Jujur saja, saya tertarik membaca buku tersebut bukan karena saya merupakan pemerhati isu-isu lingkungan, tapi lebih karena saya ingin belajar membaca buku setebal 500 halaman ditulis dalam bahasa inggris, it's quite cheesy right?? Tapi setelah setelah membaca sebagian buku tersebut, awareness saya mengenai kondisi bumi ini. Hal inilah yang membuat saya begitu menikmati perjalanan satu jam pertama di dalam kereta api.
Ada beberapa potongan paragraf dalam buku tersebut yang cukup catchy, seperti kalimat yang menunjukkan sudah begitu parahnya kondisi bumi kita ini yang coba ditunjukkan penulis dengan ungkapan: "Everytime you look in a mirror, you are seeing an endangered species". Ungkapan itu cukup menohok buat saya, karena selama ini kita hanya bisa berbangga dengan keadaan kita sekarang dari apa yang kita lihat di cermin, tanpa memikirkan apa yang akan terjadi di kemudian hari. Hal lain yang menarik dari bacaan saya tersebut adalah adanya suatu pendapat yang mengatakan bahwa fenomena yang sekarang kita hadapi bukan GLOBAL WARMING, tapi lebih kepada GLOBAL WEIRDING. Karena menurut beliau, global warming dianggap terlalu halus atau terlalu ramah untuk menggambarkan parahanya kondisi saat ini. Global weirding dianggap lebih tepat, karena segala sesuatunya menjadi begitu aneh ketika berkaitan dengan urusan alam dan lingkungan. Salah satu bentuk keanehan tersebut adalah adanya salah satu gubernur di AS yang menghimbau warganya untuk melakukan hal-hal mistik agar hujan turun. Cukup ironis, di millenium ketiga ini, salah satu pejabat di negara adikuasa seperti AS, masih percaya hal-hal klenik seperti itu. Masih banyak keanehan-keanehan yang ditulis di buku itu yang menunjukkan semakin memburuknya alam ini. Di Indonesia, fenomena paling sederhana yang bisa kita tangkap dari memburuknya alam ini adalah bahwa kebanyakan orang Indonesia musim hujan itu terjadi di bulan yang berakhiran -ber, tapi sekarang kita masih bisa merasakan hujan deras di bulan Maret, cukup dangkal memang pendapat tersebut tapi menurut saya hal tersebut cukup menggambarkan memburuknya alam ini.
Satu jam sudah saya membaca buku itu di dalam kereta, dan ini membuat mata saya lelah dan segera mengalihkan perhatian ke luar melalui jendela di samping saya. Inilah salah satu alas an kenapasaya lebih memilih menggunakan kereta api, sebuah pemandangan khas yaitu persawahan dan segala pernak-pernik kehidupan desa, and here you can see toddlers waving to the train. Tapi semuanya tidak seperti yang saya harapkan. Sawah-sawah Nampak tidak seramai dahulu, tidak ada kumpulan ibu-ibu yang menanam padi atau petani dengan kerbaunya. Apakah sang kerbau sekarang lebih tertarik untuk mengikuti demonstrasi di Bundaran HI?? Tentu tidak, ini semua karena petani lebih memilih menggunakan traktor, yang asapnya membuat udara sekitar tidak secerah dulu. Pemandangan ini membuat saya larut membayangkan apa yang saya baca di buku Hot, Flat, and Crowded, betapa segala sesuatunya jika tidak dikaji dengan matang, bisa menimbulkan efek samping yang buruk. Ambil contoh penggunaan traktor tersebut, dan masih banyak contoh lain yang umat manusia sering salah dalam menangani persoalan, karena selalu berusaha menyelesaikan masalah dengan satu masalah baru. Kesalahan tersebut bisa jadi bukan tanpa sengaja. Satu hal yang melintas di pikiran saya waktu itu adalah beranikah pemerintah kita menaikkan berkali-kali lipat pajak kendaraan bermotor sehingga banyak orang tidak dengan mudah mendapatkannya seperti sekarang ini yang setiap orang bisa membawa pulang sepeda motor tanpa uang muka cicilan. Inilah yang membuat jalanan ibukota begitu hectic karena padatnya jalanan oleh kendaraan bermotor. Kembali lagi ke lamunan saya, andai saja hasil dari peningkatan pajak kendaraan bermotor tersebut digunakan untuk meningkatkan kualitas pengelolaan perkeretaapian kita sehingga orang-orang mulai beralih dari kendaraan pribadi yang pajaknya semakin tinggi ke kendaraan transportasi massal seperti kereta api yangberkualitas dari segi infrastruktur, manajemen, maupun pelayanannya. Dengan begini, PT KA (PT Kereta Api) tidak lagi dicemooh masyarakat sebagai PT Kumaha Aing (terserah gua, -red) yang kereta apinya seenaknya datang dan berangkat tanpa sesuai jadwal atau seenaknya menaikkan tarif tanpa ada sebab yang jelas. Tapi sepertinya menaikkan pajak kendaraan bermotor itu sulit terjadi karena tingginya bargaining power para kapitalis perusahaan otomotif terhadap orang berkuasa di negeri ini. Memikirkan carut marutnya membuat kepala saya pening, dan ingin segera kembali mengalihkan perhatian ke pemandangan di luar jendela kereta.
And I fell asleep as I listened to this song:
"Awan" (written & performanced by Pure Saturday)
Di atas tanah kita melangkah
Andai kita terbang jauh melayang
Kan kugapai semua tanpa pilihan lagi
Seindah liku-liku jalan yang terlalui
Yang terlewati
Tak kan mudah menghindar
Kita melawan waktu
Lewati hari
Biarlah ku tertidur
Biarlah ku tertidur
Di atas awan ku tertidur
(Hanya bersamamu ku kan tertidur)
Kan kugapai semua
Saat ini kan kugapai semua
Ahh.. jadi inget belun selesaiin baca The World is Flat... basi banget :#|
BalasHapus