Rabu, 26 Mei 2010

Sometimes, Loneliness Makes It Better


Tepat empat minggu sejak traveling saya terakhir saya ke Tanjung Lesung awal bulan April lalu, saya pun menikmati backpacking kembali di minggu ketiga bulan April, dan tujuan backpacking kali ini adalah Pulau Tidung di Kepulauan Seribu. Sedikit overdosis memang, karena seharusnya saya traveling di akhir bulan atau seminggu selanjutnya, tapi berhubung tekanan pekerjaan yang tinggi membuat saya dying akan traveling sekedar untuk berlibur dan melupakan sejenak kehidupan kantor meskipun saat itu bukan long weekend.

Setelah berwacana cukup lama dengan teman kuliah tentang traveling bersama, akhirnya kami pun sepakat untuk melakukannya kali ini ke Kepulauan Seribu. Anggota tim backpacking kali ini terdiri dari 7 orang, yang 2 orang diantaranya teman saya kuliah dulu, dan sisanya teman kantor salah satu teman saya. Ketujuh orang ini terdiri dari lima orang laki-laki seumuran dan sepasang boyfriend-girlfriend. Awalnya saya agak ragu apakah satu-satunya wanita ini mampu backpacking bersama saya, namun teman saya menjajikan bahwa wanita ini agak tomboy dan setelah kami traveling bersama, saya pun percaya bahwa dia memang tomboy, meskipun terkadang juga manja (seperti wanita pada umumnya) tapi khusus kepada sang kekasih.

Hari H pun tiba, kami memilih (depan) salah satu hotel sebagai meeting point karena beberapa diantara kami ada yang sedang mempunyai acara dan menginap di sana. Seperti biasa, acara berkumpul pun telat setengah jam (sangat Indonesia sekali bukan??) tapi kali ini saya tidak terlambat dan bahkan menjadi yang pertama. Setelah berkenalan satu sama lain, kami langsung bergegas ke Muara Angke dengan menggunakan dua taksi, dengan tarif yang cukup realistis yaitu Rp60 ribu.

Backpacking kali ini saya tidak melakukan riset yang dalam terlebih dahulu karena beberapa bulan yang lalu saya backpacking ke Kepulauan Seribu hanya saja ke Pulau Pramuka dan kali ini ke Pulau Tidung, jadi saya menganggap tidak memerlukan persiapan khusus karena kedua pulau tersebut bagi saya sama saja. Saya pun sudah mengenal trik-trik dalam bepergian ke Kep. Seribu. Persiapan traveling kali ini memang tidak serumit biasanya, cukup ditambah dengan obat anti mabuk untuk bisa beristirahat di dalam kapal kayu yang banyak memakan ‘korban’ mual-mual karena mabuk laut.

Akibat obat anti mabuk lah perjalanan kali ini pun terasa singkat, karena hampir sepanjang perjalanan saya tertidur padahal di dalam geladak kapal saya berada bersama beberapa wanita cantik, tapi nampaknya obat anti mabuk mengalahkan keinginan saya untuk bercengkerama dengan mereka. Kurang lebih tiga jam kemudian kami pun sampai di dermaga Pulau Tidung, sebuah tempat sederhana yang hanya terdapat beberapa kapal kecil saja yang bersandar di sana. Suasana dermaga pun ramai dengan para pemilik homestay atau para tour guide yang menjemput tamu-tamunya. Satu hal yang cukup menganggu saya di dermaga itu adalah cukup banyaknya sampah di perairan sekitar dermaga, sungguh sangat disayangkan padahal air di sana cukup jernih.

Setibanya di sana, kami pun langsung menghubungi sang pemilik homestay, Pak Bustamil dan saya ditunjuk untuk melakukan koordinasi dengannya sekaligus menyampaikan aspirasi dari teman-teman yang lain kepada sang pemilik hotel. Setelah sedikit berbasa-basi saya pun langsung mengalihkan topik pembicaraan ke arah yang ‘agak sensitif’ yaitu masalah harga. Sebetulnya saya agak pesimistis untuk bisa menawar harga disana karena saya tahu bahwa di sana memang ada semacam organisasi atau kartel yang memang bersepakat untuk memasang tarif pada nilai tertentu. Tapi dengan sedikit pengelaman saya punya dalam tawar menawar harga, ternyata saya mampu menurunkan harga sebesar Rp50ribu. Penginapan yang kami dapat adalah Pondok Salsabila, cukup nyaman dengan 1 kamar tidur, kamar mandi, dan dapur dengan ruang tengah di bagian depannya. Harganya cukup murah yaitu Rp250 ribu/hari. Pak Bustamil, ternyata bukan sebagai pemilik pondok, dia hanya mengkoordinasikan asset-aset milik penduduk untuk disewakan kepada wisatawan. Jadilah kita bertansaksi dengan Pak Bustamil tidak hanya untuk penginapan, tapi juga untuk sewa perahu, alat snorkeling, termasuk makan dan kelapa muda. Total biaya yang kita habiskan selama di sana sebesar Rp1.055.000, tidak terlalu mahal memang karena kita bertujuh.

Lokasi pondok tersebut memang agak jauh dari dermaga, dan kurang strategis jika kita ingin keliling pulau. Selepas makan siang, kami langsung pergi berlayar. Ternyata meskipun cuaca cukup cerah, hari itu ombak bergelombang cukup tinggi tapi kami masih bisa meminta sang empunya kapal untuk membawa kami ke spot snorkeling yang agak jauh. Rencananya kami akan snorkeling di tiga tempat berbeda, tapi karena ombak yang kurang mendukung membuat kami hanya pergi ke dua tempat dan itu pun salah satunya hanya di tepi pantai ujung pulau Tidung.

Jujur saja, snorkling membuat saya addicted dan saya selalu merasa takjub setiap kali snorkling, tak peduli baik karang dan mahluk laut lainnya yang saya lihat itu bagus atau tidak. Snorkling kali ini menurut saya tidak seindah ketika saya snorkling di Pulau Pramuka lalu. Mungkin disamping itu snorkling pertama saya, atau bisa juga karena karang di Pulau Tidung tidak seindah karang di sekitar pulau Pramuka. Karang di sekitar pulau Tidung tidak berwarna-warni dan saya melihat banyak pecahan-pecahan karang yang sudah mati, terkadang pemandangan bawah laut seperti itu agak creepy bagi saya apalagi di spot-spot yang tidak ada ikannya. Tapi di beberapa spot lainnya meskipun banyak terdapat pecahan karang mati, masih terdapat banyak ikan yang berwarna-warni nan menawan. Menurut saya ikan-ikan yang saya lihat di perairan Pulau Tidung lebih indah daripada ikan-ikan yang saya lihat di perairan pulau Pramuka, hanya saja ombak waktu itu di Pulau Tidung membuat sulit bagi kami untuk melakukan snorkling dengan tenang.

Ombak laut waktu itu memang cukup menyeramkan, awalnya kami menikmatinya tapi lama kelamaan suasana menjadi cukup menyeramkan, terutama ketika dua orang tour guide di kapal yang juga merupakan penduduk setempat. Entah disengaja atau tidak, kurang bersahabatnya ombak pada waktu itu "dimanfaatkan" oleh tour guide kami sebagai alasan untuk tidak membawa kami ke beberapa spot yang agak jauh. Jujur saya sebetulnya saya agak kecewa gelombang laut yang tinggi dijadikan alasan untuk tidak mengunjungi beberapa spot di perairan sekitar Pulau Tidung, dan kami pun gagal mengunjungi ujung barat Pulau Tidung karena sang tour guide sudah ketakutan untuk berlayar dengan ombak yang tinggi. Dengan sedikit kecewa kami pun pulang ke homestay, tetapi saya tidak kehilangan semangat untuk memburu sunset di Pulau Tidung dengan berjalan kaki menuju ujung pulau untuk menyaksikan sunset.

Perjalanan dari homestay menurut saya cukup dekat, sehingga saya memutuskan untuk berjalan kaki sambil menyusur pantai. Di perjalanan, langit sudah semakin gelap dan saya pun mempercepat langkah kaki menuju ujung pulau. Tampak beberapa turis lain juga berjalan ke arah yang sama seperti kami. Tanpa terasa kami saya sudah berjalan cukup jauh tapi ujung pulau belum juga tampak, ternyata pulau ini lebih luas dari yang saya bayangkan. Langit pun sudah berubah warna dan menjadi gelap, adzan maghrib sudah berkumandang, dan saya pun gagal mencapai ujung pulau untuk menyaksikan sunset. Dengan sedikit kecewa saya pun kembali ke homestay, dan tampak beberapa wisatawan lain yang senasib dengan saya mencoba mengobati kekecewaannya dengan berfoto-foto di pinggir pantai.

Malam hari di Pulau Tidung kami habiskan hanya berdiam diri di dalam homestay. Sebetulnya saya ingin sekali pergi ke luar dan jalan-jalan menyaksikan suasana malam di Pulau Tidung, apalagi waktu itu sedang ada kenduri di salah satu rumah penduduk. Tapi karena teman-teman saya yang lain merasa kelelahan dan mengaku sedang mempersiapkan fisik untuk keesokan harinya, mereka pun enggan untuk ke luar homestay dan lebih memilih bermain kartu sampai larut malam. Saya merasa tidak nyaman untuk ke luar sendirian dan meninggalkan yang lainnya, dan saya pun bergabung untuk bermain kartu dengan setengah hati karena sebetulnya saya ingin berjalan-jalan melihat suasana malam di Pulau Tidung.

Lokasi homestay tempat kami menginap berada persis di samping sebuah masjid sehingga kami dapat mendengar jelas sekali setiap adzan berkumandang. Sehingga adzan pula lah yang membangunkan saya pagi itu karena suaranya nyaring sekali di tempat yang sesepi itu. Saya pun mencoba untuk shalat shubuh di mesjid itu, meskipun keseharians saya jarang sekali shalat shubuh di mesjid. Jamaah shalat shubuh di mesjid itu hampir semuanya berusia lanjut dan berperawakan layaknya nelayan kebanyakan, sungguh pemandangan yang jarang saya lihat di mesjid.

Selepas shalat shubuh saya memutuskan untuk kembali berjalan-jalan menyusuri pulau dan kali ini tanpa izin kepada yang lain karena saya tahu mereka tidak akan tertarik bergabung bersama saya. Mereka jadi begitu membosankan karena terlalu fokus untuk pulang. Sebetulnya saya cukup beradu argumen dengan salah satu dari mereka karena dia begitu ingin cepat pulang dengan segera sedangkan masih ingin menikmati Pulau Tidung di pagi hari, sehingga selepas shalat shubuh kebanyakan kami langsung packing sedangkan saya langsung berjalan-jalan.

Berdasarkan info dari tour guide kami, perjalanan kapal untuk kami pulang ke Muara Angke berangkat pada pukul tujuh dan delapan pagi. Terjadi perdebatan antara saya dengan beberapa teman saya mengenai jam berapa kita akan pulang, saya lebih memilih pulang jam delapan pagi karena ingin lebih santai sedangkan teman saya yang lainnya lebih memilih pulang jam tujuh pagi. Perdebatan sempat memanas, tapi dengan saya yang "melarikan diri" untuk jalan-jalan selepas shubuh, membuat kami semua tidak mungkin untuk pulang dengan menggunakan kapal jam tujuh pagi. Sebetulnya saya sempat meminta mereka untuk meninggalkan saya kalau memang ingin pulang jam tujuh pagi, tapi ternyata mereka mengalah.

Setelah jam tujuh lewat, kami pun berkemas dan bergegas menuju untuk mengejar kapal jam delapan pagi dengan menyematkan diri untuk singgah di rumah Pak Bustamil dalam rangka berpamitan dan yang paling menyelesaikan masalah keuangan. Tiba di dermaga tampak beberapa kapal bertambat dan kami pun lega karena mengira akan ada keberangkatan kapal tidak lama lagi. Tapi setelah berbincang-bincang dengan beberapa orang yang seang berada di dermaga, ternyata kapal tersebut baru akan berangkat pukul 13.00. Selain kami ada beberapa orang yang senasib dengan kami dan langsung merasa kecewa, tapi tentu yang paling kecewa adalah beberapa teman saya yang berencana untuk pulang lebih awal pukul 07.00 malah mendapatkan apa yang jauh dari harapan mereka yaitu telat 6 jam dari perkiraan mereka. Seebaliknya, saya sangat menikmati keterlambatan saya, karena saya memanfaatkannya untuk berjalan-jalan di sekitar dermaga, belanja jajanan tradisional Pulau Tidung, dan yang paling mengasyikkan yaitu saya membaca buku di pinggir pantai di bawah pohon kelapa, merupakan sebuah aktivitas yang sangat jarang dilakukan di pantai tapi ternyata sangat menyegarkan, bisa dibilang aktivitas tersebut menjadi salah satu aktivitas favorit saya ketika berada di Pulau Tidung, mungkin juga karena saya tidak mendapatkan teman perjalanan yang cocok selain buku saya itu.

Di dalam benak, saya sadar mereka pasti sangat kesal kepada saya, tapi apa boleh buat, saya sudah menawarkan kepada mereka untuk silakan pulang lebih awal daripada saya jika memang terburu-buru karena saya memang ingin masih menikmati Pulau Tidung di pagi hari, dan saya mengatakannya baik-baik tanpa ada maksud menyindir atau merasa tersinggung. Tapi mereka merasa tidak enak meninggalkan saya, sambil didalam hati mengeluh atas sikap saya ini. Tapi itulah kawan yang dinamakan konsekuensi, semua ada hubungan sebab akibat, setiap pilihan yang diambil pasti menimbulkan akibat tertentu. Termasuk dalam kasus kali ini, terkadang memaksakan untuk tetap bersama-sama dengan sekumpulan orang memang memuakkan dan kita kadang harus mengorbankan apa yang kita inginkan. Yes, sometimes loneliness makes it better!

1 komentar: